Senin, 10 November 2014

Kesenjangan Tanpa Batas, Berani Menjawab ?



“saya hidup bukan atas kemauan, ide, perbuatan, dan karya saya namun bergantung pada orang lain yang berkuasa lebih dari saya”  sehingga mereka memanfaatkan kondisi dan situasi untuk memperdaya saya untuk bekerja walau “katanya memiliki hak sama di tanah ibu pertiwi”  namun  untuk bertahan hidup saya  memberikan hak saya dirampas untuk kata “hidup” inilah realita jertian
Kesejangan Sosial



Kesenjangan bukanlah hal tabu bagi negara-negara underdog, hal yang menjadi makanan sehari-hari menengok perampasan hak secara eksplisit maupun implisit dalam habitus bermasyarakat, apalagi blia bukan efek sesat liberal yang mengakibatkan tersebut. Underdog bukanlah hal yang diinginkan oleh masyarakat yang ditabukan oleh kepentingan elit politik namun hanya ingin merasakan rasanya hidup makmur. Mereka tidak paham apa itu ideolgi yang mengangkangi rezim pemerintahan ini yang kecuali pancasila , tidak paham akan namanya sikut-sikutan antar sesama saudara dan tak paham namanya menjadi seorang sapi perah untuk nadi orang lain, artinya masyarakat hanyalah objek dari trias politica negara sendiri yang menyusun kebijakan atas dasar ideologi suntikan yang memaksakan kaum-kaum borjuis import untuk menguasai harta kekayaan ibu pertiwi, dimana pertarungan antara Liberas melawan Nasionalis dimulut saja, yang pada akhirnya dikalahkan oleh nafsu manusiawia nan beragama apalagi bila bukan “kertas merah” . Mudahnya birokrat-birokrat bangsa terjajakan oleh materi untuk sebuah kepentingan elit politik bukan lain adalah akibat pudarnya ideologi atau identitas diri bangsa yang tercerminkan dari birokrat dan warga negara negara tersebut yaitu “Pancasila”. Tanpa ideologi dan tanpa identitas diri sebagai sebuah negara yang ditanamkan sejak dini dalam seluruh masyarakat Indonesia akan mempengaruhi identitas bangsa dan tujuan bangsa yang tidak jelas arahnya.

Adidaya liberal yang merasuk kedalam sel-sel seluruh bangsa dengan tiga tahapan jitu yaitu pertama menguasai kekuasaan pemerintahan dan politik bangsa untuk kebijakan kaum-kaum pemodal tanpa mengindahkan amanat rakyat. Kedua menanamkan ide, manajemen, kegiatan, dan kemegahan infrastruktur untuk mengubah masyarakat sesuai kebutuhan pasar sehingga transisi masyarakat kultur berubah menjadi masyarakat individualis yang ekspatasi mengarah pada hedonis masyarakat, ketiga selalu berusaha melemahkan bahkan mematikan gerakan perlawanan masyarakat terhadap ketidakadilan yang ada dalam masyarakat. Secara sadar atau tidak sadar problematika yang hadir telah bersifat struktur dan inilah menjadi tantangan yang harus dijawab bersama oleh elemen masyarakat.

Efek kesenjangan sosial merupakan konsumsi mata sehari-hari, dimana si miskin hanya sebagai sapi perah yang diupah dengan gaji sangat rendah, padahal bahan mentah hasil si miskin yang akan diolah tersebut akan berimpact tinggi bagi kebutuhan pasar dengan kepastian harga yang tinggi, sehingga kehidupan mereka hanya untuk “bertahan hidup” artinya “saya hidup bukan atas kemauan, ide, perbuatan, dan karya saya namun orang lain yang berpower lebih dari saya “ kasarnya adalah pelanggaran hak kodrati sebagai manusia dengan kategori pelanggaran HAM namun terlihat lumrah karena pasar meminta seperti itu.  Si kaya hanya mengoalah saja dan berspekulasi harga dengan daya tawar menawar agar mempengaruhi pasar, memperluas kegiatan usaha dengan memanfaatkan keuntungan menjadi modal dalam ekspansi pasar.

Sehingga memungkinkan fantasi mereka yang tak pernah mereka bayangkan menjadi kenyataan, sedangkan para si miskin cukup dengan fantasi saja. Mereka memberi upah pekerja  dengan nilai miris dan murah, dimana pangkal masalah adalah kebijakan pemerintah terhadap upah tidak selaras terhadap kepentingan masyarakatnya , sistem pengawasan yang tidak transparan, dan proses penyelesaian sengketa atas dasar pemodal. Inilah hal yang perlu dijawab bersama apakah ini akan dibiarkan saja atau menjadi perlawanan bersama untuk menjadi sejarah yang dapat diceritakan sebagai perjuangan bagi generasi selanjutnya utnuk melawan namanya “pemiskinan” struktural yang sengaja dibangun oleh ideologi dan kaum borjuis import yang tidak kenal belas kasih.

Gerakan struktural adalah jawaban taktis dalam menjawab keresahan kesenjangan tanpa batas yang hadir dalam masyarakat, pergerakan laten Kaum Intelektualis Populis ( Aktivis dan Mahasiswa ) dalam mengakomodir masyarakat bukan lagi kebutuhan namun telah menjadi kewajiban untuk mengkritisi segala kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh penguasa bangsa agar kebijakan-kebijakan pemberi jarak dalam masyarakat heterogen ini tidak menjadi konflik kepentingan mengatasnamakan kesenjangan sebagai alasan. Masyarakat tidak tahu dengan sistem dan kepura-puraan  mereka hanya tahu kabar dan berita sehingga kepolosan watak masyrakat kultural terpovokasi oleh isu-isu taktis pengubah masyarkat menjadi individual. Tantangan ini perlu dijawab bersama, karena perhari ini organ-organ masyarakat hanya beraksi berdasarkan politik dan ideologi organ, tapi tidak berdasarkan masalah yang sama dan suara organ-organ masyrakat adalah suara rakyat, untuk menahan arus liberal pangkal utama kesenjangan harus mampu mengerakkan isu masa berdasarkan kebutuhan masyarakat dan mengajak mereka bahwa inilah kebutuhan bersama. Menjadi kontemplasi bersama bagaimaana kesiapan sebagai seorang kaum intelektulis Populis dalam diri dan berujuang hingga kesenjangan hak dan hidup di tubuh ibu pertiwi tidak menjadi tangis arwah-arwah pejuang bangsa?.

Presidium Gerakan Masyarakat 2013-2015

Gerakan Mahasiswa Pembela Aspirasi Rakyat ( GEMPAR )

Tolak Kenaikan Harga BBM

Gabungan organ-organ masyarakat bersatu dalam Gerakan Mahasiswa Pembela Aspirasi Rakyat ( GEMPAR ) yang terdiri dari : Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) , Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND), Front Mahasiswa Nasional (FMN), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (KMHDI), BEM KBM Universitas Lampung, UKMBS Universitas Bandar Lampung, BEM Sekolah Tinggi Agama Hindu, BEM IBI Darmajaya, dan BEM UMITRA melakukan aksi bersama dalam memperingati hari pahlawan dan tuntutan "tolak kenaikan harga BBM".

Bahan Bakar Minyak (BBM) sangatlah vital bagi kehidupan rakyat. Pemerintah harus memberi subsidi untuk menekan dan menstabilkan harga BBM agar terjangkau, tetapi Pemerintahan baru dipilih justru menaikkan harga BBM dengan beralasan subsidi tidak tepat sasaran dan sangat membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Pengurangan subsidi BBM akan dialihkan ke sektor lain yang butuh percepatan yakni pembangunan infrastuktur, pertanian, kesehatan, dan pendidikan. 

Hal berbeda disampaikan ekonom Ichasanuddin Noorsy, bahwa jika harga Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi dinaikkan Rp.1000,00/ liter saja inflasi akan naik 1,43 % dan laju persentase kemiskinan juga akan naik 0,41 persen. Artinya akan ada penambahan masyarakat miskin1,6 juta jiwa. Jadi, jika pemerintah menaikkan harga BBM Rp. 3000,00 / liter maka penambahan presentase masyarakat miskin menjadi 1, 23 %  atau sekitar 4,8 Juta jiwa masyarakat miskin. Sementara Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa pada bulan maret 2014 saja jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 28,28 juta orang atau sekitar 11,25 % dari populasi penduduk Indonesia. Ini berarti jika kenaikkan harga BBM ini dilakukan akan ada 33,08 Juta jiwa rakyat miskin Indonesia.

UU No 22 Tahun 2001 tentang Migas dan UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara adalah akar masalah liberalisasi industri migas negeri ini dari sektor hulu hingga hilir. Kita harus memperjuangkan kembali poiltik energi sesuai dengan amanat konstitusi, yakni pasal 33 UUD 1945, untuk memwujudkan kedaulatan energi. Selain tiu juga harus mengakhiri dominasi asing dalam penguasaan kekayaan energi nasional, seperti minyak, gas, dan batubara, baik melalui nasionalisasi maupun renegoisasi progresif. Kemudian mendorong prioritas penggunaan kekayaan energi nasional untuk kebutuhan nasional.
Untuk itu kami aliansi Gerakan Mahasiswa Pembela Aspirasi Rakyat (GEMPAR) menuntut :
1. Tolak Kenaikkan BBM
2. Cabut UU No.22 Tahun 2001 tentang Migas dan UUNo 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara,
3. Nasionalisasi aset-aset asing untuk kepentingan nasional
4. Tegakkan sistem pengelolaan energi nasional pro rakyat.
5. Laksanakan reforma agraria sejati
6. Hentikan liberilisasi, privatisasi, dan komersialisasi pendidikan
7. Cabut UU No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi
8. Naikkan Upah Minimum Regional buruh dan pemenuhan hak-hak buruh
9. Hentikan kriminalisasi terhadap aktivis demonstran
10. Tegakkan amanat treisakti sejati.
11. Perbaikan dan tingkatkan kesejathraan veteran.
12. Laksanakan Pasal 33 UUD 1945

                                                                                     Gerakan Masyarakat PMKRI Bandar Lampung 

 

Kamis, 03 Juli 2014

TAK PEDULI MAU MANTAN JENDRAL YANG PENGUSAHA ATAU WONG NDESO YANG JUGA PENGUSAHA

Oleh : Markus Triwahyudi-Presidium Gerakan Kemasyarakatan PMKRI Cab B. Lampung 2012-2013

Dalam beberapa bulan terakhir ini kita seringkali disibukkan dengan perbincangan mengenai pilpres 2014. Kali ini kandidat yang akan bertarung dalam pilpres hanya dua pasang saja. Tetapi menariknya pilpres kali ini disambut dengan lebih antusias oleh masyarakat dibanding dengan pilpres-pilpres sebelumnya. Hal ini dapat dilihat dari intensitas perbincangan pilpres yang tidak hanya marak di media korporat atau kalangan tertentu saja, tetapi hampir semua lapisan masyarakat Indonesia kali ini benar-benar dilanda demam pilpres. Bahkan kerapkali perbincangan mengenai pilpres tersebut menjurus pada perdebatan dan pertikaian antar kelompok pendukung masing-masing calon yang berpotensi menimbulkan konflik horisontal. Ya, pilpres kali ini memunculkan dua pasangan capres dan cawapres, Prabowo – Hatta dan Jokowi – JK. Mungkin popularitas keduanya di masyarakat tidak dapat dibendung oleh bakal calon lain untuk memberikan alternatif yang lebih banyak bagi masyarakat.
Pemilihan presiden secara langsung di Indonesia “kabar-kabarnya” adalah sebuah pesta rakyat untuk memilih siapa yang akan menjadi pemimpin negeri selama satu periode (lima tahun). Adalah sebuah hak yang mutlak bagi masyarakat untuk menentukan pilihannya termasuk juga pilihan untuk tidak memilih dalam situasi politik yang hampa ideologi. Secara rasional, calon presiden terbaiklah yang seharusnya masyarakat pilih. Tentu kriteria terbaik sendiri akan memunculkan banyak varian sesuai dengan kepentingan masing-masing kelompok dalam masyarakat. Tetapi secara garis besar, pemimpin terbaik adalah pemimpin yang mampu menghadirkan solusi untuk kesejahteraan dan ketentraman masyarakatnya. Artinya penggunaan kata pesta dalam frasa pesta rakyat merujuk kepada sebuah kepentingan yang sangat besar dari masyarakat yang termanifestasikan dalam diri setiap pilihannya. Hal ini berarti ada sebuah kepentingan yang harus diperjuangkan dalam setiap momentum pilpres.

Lalu benarkah pemilihan presiden secara langsung di Indonesia saat ini adalah sebuah pesta bagi masyarakatnya? Mungkin pernyataan tersebut adalah benar bagi sebuah negeri yang berdaulat. Sebuah negeri yang dibangun di atas kekuatan rakyatnya, bukan oleh para elitnya saja. Sebuah negeri yang mana masyarakatnya memiliki akses penuh terhadap segala sumber daya yang ada di dalam negerinya. Dan sebuah negeri yang tentu saja tidak di-dikte oleh kekuatan-kekuatan selain dari pada kekuatan rakyat sebagai satu-satunya pemegang kepentingan. Lalu bagaimana jika situasi tersebut belum terwujud? Nampaknya penggunaan frasa di atas dalam memaknai pilpres di Indonesia perlu untuk ditinjau kembali.

Lalu mengapa banyak pendukung dan simpatisan dari kedua pasang calon sering menunjukkan perilaku irasional dalam mendukung masing-masing jagoannya? Yang terkadang tak tahu lagi batas malu dalam menunjukkan kebodohannya di khalayak publik. Yang selalu memancing kita pada sebuah perdebatan yang sangat jauh dari substansi persoalan-persoalan pokok bangsa. Yang pada akhirnya menggiring kita ke bilik suara untuk sebuah alasan yang serba remang. Sementara di lain sisi, kita tahu melalui pengalaman yang sudah-sudah bahwa tidak ada perubahan kesejahteraan yang signifikan dari setiap kali terjadi pergantian tampuk kepemimpinan di negeri ini.

Mungkin akan banyak tafsir yang muncul dari setiap individu ketika dihadapkan pada kondisi ini. Namun ada beberapa hal yang patut diperhatikan ketika perilaku irasional yang akhir-akhir ini bak virus yang dengan sangat cepat menjangkit para pendukung kedua pasang calon. Pertama, adalah permainan isu-isu sektarian (dalam hal ini ras dan agama) oleh oknum-oknum laknat yang dengan sangat berhasil memancing ketakutan massa mayoritas terhadap nilai-nilai pluralisme. Ini bisa dilihat ketika salah satu pasangan atau keduanya diserang dengan isu-isu seperti agamanya yang non mayoritas, atau sukunya yang non pribumi, maka api akan terpantik dan dengan sangat cepat menjalar ke seluruh segmen masyarakat. Kedua, tumbuh berkembangnya “pasukan pencari nasi bungkus” yang sebenarnya memiliki sifat yang tak jauh dari para oligarki itu sendiri, yakni “kalap rente”.


Kehadiran kelompok ini dengan irasionalitasnya siap untuk menghadirkan irasionalitas yang lebih luas kepada masyarakat umum untuk melancarkan jalan bagi dewa-dewa pujaannya ke tampuk kekuasaan. Dalam situasi yang serba remang inilah kita sebagai bagian dari masyarakat sebaiknya tidak memberikan dukungan yang membabi buta kepada calon-calon tertentu, melainkan sebuah dukungan kritis. Sebuah sikap dukungan yang memberikan celah lebar terhadap kritik untuk jagoannya yang tentu saja bukanlah dewa. Sebuah dukungan yang berfokus pada hal-hal substantif mengenai kesejahteraan masyarakat secara luas Dan sebuah dukungan yang senantiasa memperdebatkan konsep teoritis yang ditawarkan oleh masing-masing calon serta siap melakukan pengawalan kritis secara programatik pasca calon yang didukungnya terpilih. Sehingga nantinya, frasa “pesta rakyat” yang identik dengan situasi penuh kegembiraan akibat asa yang begitu besar akan perubahan ke arah yang lebih baik tidak hanya sekedar “kabar-kabarnya” saja.

KUALITAS PEMILU DITENTUKAN OLEH RAKYAT

Oleh : Lintong Simbolon
Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan ajang pembuktian bagi warga negara, apakah mampu memilih pemimpin yang sesuai harapan atau tidak.  Untuk menjadi pemilih rasional bukan perkara gampang. Akan banyak rintangan yanga akan dihadapi para pemilih. Pertama, iming-iming kenikmatan sesaat baik berupa tawaran uang atau hal-hal lain yang bisa memabukkan, sehingga pemilih lupa akan tujuan utamanya dalam memilih.
Kedua, kemungkinan adanya tarikan kultural dan ideologi yang kuat juga bisa menyebabkan para pemilih tak lagi mempertimbangkan rasionalitas dalam menggunakan hak pilihnya. Karena pertimbangan kekerabatan dan kesamaan agama misalnya, rasionalitas bisa saja diabaikan.
Ketiga, menurut data yang dianggap valid, mayoritas pemilih merupakan mereka yang berpendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) ke bawah. Tingkat pendidikan yang rendah, meskipun belum tentu identik dengan kualitas yang rendah, paling tidak bisa menjadi bukti awal kemungkinan adanya kekurangcermatan dalam memilih disebabkan karena minimnya wawasan dan pengetahuan.
Pemilihan Langsung (Pemilu) sudah menjadi pilihan negara Indonesia dalam melaksanakan suatu sistem demokrasi untuk melahirkan pemerintahan yang dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Demokrasi menghendaki, kekuasaan tidak dipegang oleh segelintir orang dan menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan kelompok tertentu. Kekuasaan yang dilahirkan melalui sistem demokrasi saat ini diharapankan mampu membawa negara ini menjadi bangsa yang mandiri, berdaulat dan bermartabat.
Rakyat mempunyai peran yang sangat penting dalam sebuah pelaksanaan demokrasi melalui pemilu. Bagi mereka yang haus akan kekuasaan dan kekayaan, demokrasi hanyalah sebagai alat yang mereka gunakan untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Mereka bersembunyi dibalik janji-janji untuk mensejahterakan rakyat. Demokrasi hendak menjawab dua pertanyaan penting: untuk kepentingan siapa kekuasaan dijalankan (demokrasi substansial) dan bagaimana kekuasaan itu dikelola (demokrasi prosedural). Dua pertanyaan kunci ini juga bisa dikemukakan dalam konteks Pemilu : untuk kepentingan siapa Pemilu dilaksanakan dan bagaimana menjamin Pemilu agar kepentingan rakyat betul-betul diakomodasi.
Demokrasi yang mengartikan bahwa kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat harus sungguh-sunguh mampu dimaknai secara logis oleh rakyat itu sendiri. Kualitas dalam pelaksanaan demokrasi dalam konteks Pemilu, partisipasi rakyat sangatlah penting dan mendesak. Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Maka dalam Pemilu tersebut rakyat harus menggunakan kedaulatannya dengan baik dan benar. Keterlibatan aktif masyarakat dalam seluruh tahapan Pemilu sangat dibutuhkan. Masyarakat perlu lebih kritis dan mengetahui secara sadar nasib suara yang akan diberikannya. Suara kita memiliki nilai penting bagi kualitas demokrasi demi perbaikan nasib kita sendiri.

Untuk memaksimalkan peran warga negara dalam memilih, rintangan-rintangan itu harus diatasi, misalnya dengan pendidikan dan penyadaran yang terus-menerus kepada segenap warga negara agar mereka betul-betul menyadari hak-haknya, dan bisa memfungsikan hak-haknya itu untuk kemajuan bangsa dan negaranya. 

Selasa, 10 Juni 2014

Membangun Asa di Tengah Keapatisan Pemilih


Rizal Sinurat
Ketua PMKRI Cab.B Lampung
St. Ignatius de Loyola periode 2013-2015

“ Membangun Asa di Tengah Keapatisan Pemilih “

Pemilu merupakan moment penting dalam perjalanan sejarah indonesia dalam mencari bentuk demokrasi yang sesuai dengan kultur dan kearifan lokal yang dimiliki bangsa ini. Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan oleh rakyat. Implementasi dari pemerintahan oleh rakyat adalah dengan memilih wakil rakyat atau pemimpin nasional melalui mekanisme yang dinamakan dengan pemilihan umum. Jadi pemilihan umum adalah satu cara untuk memilih wakil rakyat. Dalam melaksanakan pemilihan umum tersebut pastinya memakan waktu dan pendanaan yang besar. Untuk keperluan pemilihan umum tahun 2009 dalam UU Nomor 45 Tahun 2007 tentang APBN 2008 mengalokasikan dana untuk keperluan penyelenggaraan Pemilu 2009 sebesar Rp 6,67 triliun dan untuk keperluan operasional Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebesar Rp793,9 miliar.

Peningkatan jumlah masyarakat yang golput dalam pemilihan umum menjadi suatu keresahan bersama guna dicarikan permasalahan dan solusinya. Pada Pileg tahun 1999 angka golput 10,2 persen, pileg 2004 23,3 persen dan pada tahun 2009 menjadi 29 persen pemilih yang tidak menggunakan haknya  Kecenderungan peningkatan golput juga terjadi pada Pilkada. Di Jakarta, Pilgub pada 2007 mencatat angka golput 35,2 persen, sedangkan tahun 2012 angkanya melonjak menjadi 32 persen. Pada Pilgub Sumut jumlah golput mencapai 5,3 juta, Pilkada Jabar suara pemenangnya di bawah angka golput ( detiknews.com ).

Fenomena diatas bukan terjadi begitu saja, melainkan ada penyebab yang melatarbelakanginya. Menurut penulis ada beberapa penyebab yang dapat menimbulkan dan menambah angka golput tersebut. Pertama kondisi perpolitikan dewasa ini belum mampu menjawab kebutuhan akan sosok yang diinginkan oleh masyarakat secara umum. Perilaku dan etika yang ditampilkan dalam kehidupan sehari-hari oleh elit-elit politik tidak mencermikan sikap seorang pemimpin dan cenderung mengabdi kepada kaum penguasa. Ini berbeda dengan esensi dari fungsi “ perwakilan “ yang disandang yang idealnya adalah untuk mengabdi kepada rakyat dengan memperjuangkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat tanpa melihat kelompok-kelompoknya. Kedua stigma yang telah tertanam dalam diri masyarakat “ siapa pun yang terpilih tidak akan berdampak pada kehidupannya”. Ketiga ketidakpercayaan (distrust) masyarakat kepada partai politik dan kandidat yang dicalonkan. Ini juga terjadi tidak berjalannya sistem kaderisasi ditubuh partai, sehingga fenomena sekarang partai yang mencari elit untuk dicalonkan.

Namun penting untuk diingat bahwa sebagai warga negara yang peduli akan nasib bangsa maka hak dan kewajiban hendaknya berjalan berdampingan. Dalam buku filsafat politiknya, Republic, Plato memberi arahan yang jelas, bahwa seorang warga negara akan dikatakan tidak bertanggung-jawab dan tidak pantas disebut sebagai warga negara jika dalam hatinya tidak terpanggil untuk melaksanakan kewajibannya sebagai warga negara. Dan, seorang warga negara akan dikatakan kurang paham  jika sama sekali tidak mengambil hak-haknya sebagai warga negara.

Dalam Surat Gembala KWI menyambut Pemilihan Legislatif 2014, KWI merasionalisasikan arti penting keterlibatan warga negara dan gereja untuk menggunakan hak pilihnya. Keterpilihan calon-calon pemimpin nanti akan menentukan dan merumuskan arah dan kebijakan bangsa ini demi terwujudnya cita-cita founding  fathers yang dituangkan dalam pembukaan UUD 1945 “...untuk membentuk pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamian abadi, keadilan sosial,..”. Permasalahannya adalah apakah ketika kita tidak memilih nantinya orang-orang yang akan terpilih sudahkah orang-orang yang sesuai dengan cita-cita tersebut. Beruntung ketika orang tersebut sesuai artinya apa yang menjadi visi dan mimpi bersama setidaknya akan dilakukan meskipun masih dalam tahapan wacana.Tapi tidak beruntung ketika calon tersebut memang beriorentasi pada kepentingan pribadi dan kelompok maka kita hanya boleh menunggu waktu untuk mendegarkan kabar tak sedap itu.

Hal tersebut tidak dapat berjalan sendiri tanpa didukung oleh kemampuan calon dalam menentukan pilihannya. Penting kiranya untuk tidak mengeneralisir semua kandidat pemilu adalah korup dan penggumbar janji. Harapan tersebut masih ada dibuktikan dengan hadirnya wajah-wajah muda yang memang mampu menjawab tantangan pada hari ini, seperti Walikota Bandung, Surabaya dll. Mereka adalah hasil dari pemilihan langsung yang dipilih oleh rakyat. Kecerdasan dalam menentukan pilihan menjadi point penting untuk menghasilkan pemimpin yang profesional bukan meminta apa yang diberikan dan menerima selembar uang atau barang ketika akan mencoblos di bilik suara. Oleh karena itu marilah kita bersama-sama bijak dalam penggunaan hak politik untuk membangun sebuah negara yang benar-benar mensejahtrakan rakyatnya (Welfare State).

Pro Ecclesia et Patria !!!
Religio Omnium Sciatiarum Anima

Senin, 21 April 2014

Melankolisasi dan Kepemimpinan Politik dalam Artikulasi Media Sosial-Politik



Politik sering dikatakan sebagai salah satu dimensi kebudayaan, bisa hadir ke dalam banyak dimensi. Politik bisa berdimensi banyak. Dengan politik, arah kebudayaan dan peradaban manusia “ditentukan”. Biasanya orang mengaitkan politik darj perspektif keilmuan, seni dan permainan. Politik bisa membuat seseorang tampil “dewasa”, menjadi sosok yang bijak, tetapi tetap objektif dan realistis. Para politisi yang matang telah mengalami proses berliku-liku dan penuh tantangan. Sebagaimana telah disinggung oleh Sejarawan Kuntowijoyo (almarhum), politik kadang-kadang membuat pelakunya berkacamata kuda alias myopic. Orang yang berpolitik bisa terjebak menjadi “manusia satu dimensi”, ujar Herbert Mescuse. Apalagi kalau berpolitiknya terangkai oleh satu dimensi yang sempit.

Dalam perspektif keilmuan, sebenarnya seorang pemimpin politik tidaklah harus ahli ilmu politik. Tidak semua pemimpin politik berlatar belakang seorang intelektual, yang mempelajari ilmu politik secara formal, seperti Cosmas Batubara yang merupakan mahasiswa FISIP UI yang memperjuangkan berdiri tegaknya Indonesia yang menjunjung tinggi Pancasila sebagai ‘alat pemersatu’ bagi bangsa ini sampai pada pembentukan KAMI dan memperjuangkan TRITURA, walaupun para politisi dituntut agar dapat berargumentasi secara baik dan tertata. Namun seorang politisi yang baik adalah seorang yang memiliki wawasan politik yang baik. Hal ini terbukti pada pentas politik di setiap negara, bahwa hanya politisi yang memiliki wawasan politik kuatlah yang bertahan, dan yang tidak kuat akan gugur ditengah jalan atau bahkan telah terlibas di awal perjalanan.

Realita dunia telah bertutur, bahwa banyak pemimpin politik lahir bukan hanya berasal dari para ahli politik murni. Militer, pebisnis, petani, insinyur, aktivis, cendikiawan, bahkan aktor dan artis film pun pernah mewarnai belantara perpolitikan dunia. Pada dasarnya mereka hadir atas dalih sebuah panggilan suara nurani mereka untuk mengabdi kepada apa yang menjadi kepentingannya. Bisa jadi kepentingan dirinya sendiri, kepentingan kelompoknya, atau yang lebih patriot lagi untuk kepentingan negara. Dalam politik semua bisa direkayasa dan beringas. Namun untunglah, Muhammad Natsir jauh-jauh hari telah mengingatkan para politisi untuk tetap menjaga etikanya dalam berpolitik.

Perspektif seni berkata lain lagi. Politik acapkali juga disebut “seni kemungkinan” (the art of possibilities), apa yang tidak mungkin, bisa menjadi mungkin dalam politik. Dalam berpolitik ada diplomasi, negosiasi, koalisi, dan kampanye. Di sesi-sesi itu ada seni untuk meyakinkan. Politik telah dipercaya ampuh mengubah seseorang dari “nothing” menjadi “something”, setelah dikemas sedemikian rupa sehingga dapat tampil menarik di panggung.

Bagi yang belum berkuasa, politik adalah seni meraih kekuasaan dengan upaya-upaya yang khas untuk menarik dukungan. Bagi yang sudah “berkuasa”, politk beralih menjadi seni untuk memutuskan suatu kebijakan yang berdampak pada organisasi yang ia pimpin. Karya-karyanya akan terus menjadi ingatan yang membekas dan pertimbangannya juga dinilai oleh publik. Kehidupan pribadinya semakin kian terkikis karena semua gerak-geriknya akan dipantau oleh publik.

Namun ada yang berpendapat lain. Misalnya John Kenneth Galbraith tidak setuju bahwa politik adalah seni kemungkinan, politics is not the art of the possible. It consists in choosing between the disastrous and the unpalatable, kira-kira begitu ulasan darinya. Hanya ada dua pilihan dalam berpolitik: malapetaka atau yang tidak menyenangkan. Pandangan ini kerap menjadi opsi bagi kalangan apatis karena alasan “tidak ada pilihan yang baik” sehingga ia memilih “untuk tidak memilih” dalam pemilu.

Bagaimana dengan perspektif permainan? Dalam politik ada kompetisi, dimana pasti ada pihak yang harus kalah dan menang. Panggung politik menjadi arena untuk berkonstelasi, dimana para kontestannya saling berlaga untuk menjadi pemenang. Layaknya sebuah permainan, politik menghadapkan kekuatan-kekuatan yang ada didalam suatu kompetisi politik. Kalau ada pelaku politik berjumlah banyak, maka diniscayakan adanya koalisi politik, untuk menghadapi yang lain. Democration is the only game in town, adalah konteks yang disampaikan oleh Linz dan Stepan. Di negara penganut demokrasi adalah keniscayaan untuk melakukan pemilihan umum. Pemilihan umum adalah momentum besar yang dilakukan untuk mengukur kekuatan politiknya melelui media yang dewasa ini sudah dirasa tidak berdiri diatas kode etik pers dan bahkan sudah dipolitisasi oleh berbagai kepentingan. Seberapa besar tingkat elektabilitas penawaran politiknya ke masyarakat akan terkuak disana. Memang seringkali ada yang tidak jujur dalam permainan politik, dengan menggunakan cara yang tidak lazim, termasuk politik uang (money politics) maupun media politik. Hal inilah yang memicu beberapa kalangan untuk menutup matanya terhadap dunia politik. Padahal, didalamnya tidak semua aktor politik melakukan hal itu semua.

Tapscott (2006) mengidentifikasi arti penting masyarakat yang terkoneksi pada era teknologi digital. Menurut Tapscott, koneksi pada era digital akan menghasilkan unit-unit komunikasi yang memiliki potensi untuk mengorganisasi diri sendiri. Bahkan, apabila unit-unit yang mengorganisasi diri sendiri itu berkolaborasi secara massal, ia menjadi jejaring masyarakat (network society) yang berkuasa membuat perubahan. Jejaring masyarakat dapat menjadi media politik untuk mencapai tujuan (Castell, 2010).

Apa konsekuensi keberadaan media sosial, apabila mampu berfungsi sebagai media politik bagi anggotanya? Castell menyebutkan, munculnya pesan-pesan politik (melalui media sosial) yang lebih personal untuk mengungkap perilaku politik para pemimpin publik. Unit-unit yang mengorganisasi diri di media sosial menyebarkan informasi mengenai perilaku para pemimpin politik. Bahkan, media sosial dapat menjadi sumber informasi bagi media tradisional, seperti surat kabar dan majalah, mengenai perilaku politik yang salah (wrong doing).

Data perilaku politikus di Indonesia, yang menggunakan media sosial, belum banyak dieksploitasi oleh para peneliti. Sedikit informasi mengenai perilaku politikus dalam bermedia sosial disampaikan oleh sekelompok peneliti yang tergabung dalam Uvolution Indonesia (Maret, 2011). Kelompok peneliti itu mewawancarai 53 anggota DPR, sebagai data sampel 560 anggota DPR 2009-2014. Dari data sampel, didapatkan anggota DRR memiliki akun media sosial Facebook (71.7%) dan Twitter ( 25,6%).

Data sampel penelitian menunjukkan anggota DPR bermedia sosial. Namun, data penggunaan media sosial anggota DPR belum menggambarkan anggota DPR sebagai unit-unit komunikasi yang mampu mengorganisasi diri untuk kepentingan yang mewakili publik. Pesan-pesan di media sosial mengenai perilaku politik, anggota dewan, cenderung belum favourable di mata publik. Sebutlah beberapa, misalnya kegiatan studi banding ke luar negeri, yang dilakukan anggota DPR, dipersepsikan publik sebagai kegiatan tidak efektif dan boros. Anggota dewan juga pernah dijadikan bulan-bulanan oleh anggota jejaring sosial karena ditengarai mengunduh dengan sengaja gambar porno di ruangan rapat parlemen.

Anggota DPR kini tidak dapat menghindar sebagai bagian wajah politik Indonesia yang kian terpersonalisasi. Anggota parlemen kini menjadi subjek pengawasan (surveillance) dari publik, yang mampu mengorganisasi dirinya melalui teknologi informasi. Publik kini sebagai aktor pengawas pemimpin politik seperti anggota DPR. Sejak era reformasi, jagat politik kita sudah banyak berubah. Keran demokrasi telah dibuka selebar-lebarnya, agar menjadi semakin dewasa. Hal ini dibuktikan dengan perbincangan politik media yang semakin menggeliat, bahkan kadang tak bisa dikontrol. Apalagi panggung perpolitikan telah membuka pendaftaran kontestan dari berbagai pihak. Pada dasarnya politik bersifat netral, namun aktornya lah yang menentukan bagaimana pola gerak perpolitikannya.

Politik menjadi sarang kekejaman jika semata-mata hanya berfokus pada “political game” yang menyulut api semangat “kalah-menang”. Padahal, politik itu seyogyanya berparadigma “win-win”, sehingga tidak ada yang kalah, tetapi semuanya merasa menang. Singkat katanya, adalah pemimpin politik harus “memenangkan semua pihak”. Dalam kondisi menguatnya penggunaan media sosial di Indonesia, sebagaimana dikemukakan oleh Presiden SBY, dan pengawasan publik melalui media sosial kepada para pemimpin politik, anggota DPR dituntut menjadi aktor politik yang mampu berjejaring sosial di tingkat dunia. Anggota DPR dapat menjadi wakil publik Indonesia yang tidak hanya membawa pesan golongannya, namun sebagai bagian dari jejaring aktor-aktor politik tingkat dunia, untuk mendorong governance yang diidamkan masyarakat dunia. (Semoga)

-dalam syarat mengikuti LKK Jogja 2011
L. Rosinta H.P. Purba

Kamis, 17 April 2014

Satinah Terancam Hukum Pancung



HAM merupakan hak primer bagi manusia yang kita terima sejak lahir dan tidak bisa diganggu gugat.Terbentuknya suatu negara seharusnya dapat memenuhi kewajiban untuk melindungi dan memberikan hak-hak dasar manusia sebagai warga negara.Berdasarkan Deklarasi Universal HAM 10 November 1948, HAM diklasifikasikan menjadi 3 jenis yaitu :

1. Hak Sipol seperti : hak atas hidup,hak bebas dari perbudakan, hak bebas dari kesewenang-wenangan, hak kewarganegaraan, hak dipilih dan memilih, hak beragama dan berkeyakinan.
2. Hak Ekosob seperti : hak jaminan sosial, hak atas pekerjaan, hak pendidikan
3. Hak Solidaritas seperti : kepedulian terhadap sesama.

Melihat realitas yang ada seperti pada kasus TKW Satinah yang divonis hukuman pancung di Arab Saudi. Satinah merupakan tersangka yang telah membunuh majikan karena membela diri atas penganiayaan terhadap dirinya. Secara hukum, Satinah ditetapkan bersalah dan divonis hukuman mati pada 3 April 2014 jika dia tidak memenuhi persyaratan untuk membayar sejumlah uang yang disebut diyad  sebesar 21 Miliar. Kasus ini sebenarnya terjadi pada tahun 2007,namun pemerintah Indonesia baru menangani pada tahun 2011 dan mendapat perpanjangan waktu hingga 2014. Awalnya, keluarga korban meminta 15 juta riyal (Rp 45 miliar) yang kemudian turun jadi 10 juta riyal (Rp 30 miliar) dan terakhir sebesar 7 juta riyal atau 21 miliar.Pemerintah Indonesia telah menganggarkan 12 miliar untuk membebaskan Satinah,dan kekurangan dananya masih berusaha digalang oleh warga negara Indonesia yang peduli dengan dirinya.

Fakta yang ada, dapat kita tarik benang merahnya bahwa hukuman untuk Satinah merupakan pelanggaran terhadap HAM yaitu hak atas hidup. Bagaimanapun juga,setiap manusia berhak memperoleh hidup. Dari sisi Negara Indonesia,peran pemerintah yaitu Kementrian Luar Negeri dan Tenaga Kerja kurang memperhatikan para pekerjanya yang ada di Luar Negeri yang notabenenya adalah pahlawan devisa. Per hari ini, pemerintah gagal dalam memenuhi kewajibannya. Ini hanya satu sampel kasus yang mencuat ke permukaan, masih banyak nasib-nasib Satinah lain yang sedang menunggu pertolongan dari Negara Indonesia. 

Beberapa faktor yang membuat mengapa banyak warga negara indonesia lebih memutuskan untuk menjadi TKI/TKW di luar negeri yaitu :
1.     Paradigma masyarakat yang memandang bahwa menjadi TKI itu bermartabat.
2.     Sistem Pendidikan tidak membebaskan dan tidak konsisten.
3.     Pendidikan yang tidak merata
4.     Tenaga SDM yang kurang berkualitas.
5.     Lapangan kerja yang kurang memadai.
6.     Himpitan ekonomi yang membuat masyarakat harus mencari jalan praktis.

Kita sebagai PMKRI seharusnya dapat menawarkan solusi yaitu:
1.     Pemerintah harus dapat memenuhi pendidikan 12 tahun kepada masyarakat secara merata .
2.     Pemerintah harus mampu memberi lapangan  kerja pada setiap warga negara.