Kamis, 03 Juli 2014

TAK PEDULI MAU MANTAN JENDRAL YANG PENGUSAHA ATAU WONG NDESO YANG JUGA PENGUSAHA

Oleh : Markus Triwahyudi-Presidium Gerakan Kemasyarakatan PMKRI Cab B. Lampung 2012-2013

Dalam beberapa bulan terakhir ini kita seringkali disibukkan dengan perbincangan mengenai pilpres 2014. Kali ini kandidat yang akan bertarung dalam pilpres hanya dua pasang saja. Tetapi menariknya pilpres kali ini disambut dengan lebih antusias oleh masyarakat dibanding dengan pilpres-pilpres sebelumnya. Hal ini dapat dilihat dari intensitas perbincangan pilpres yang tidak hanya marak di media korporat atau kalangan tertentu saja, tetapi hampir semua lapisan masyarakat Indonesia kali ini benar-benar dilanda demam pilpres. Bahkan kerapkali perbincangan mengenai pilpres tersebut menjurus pada perdebatan dan pertikaian antar kelompok pendukung masing-masing calon yang berpotensi menimbulkan konflik horisontal. Ya, pilpres kali ini memunculkan dua pasangan capres dan cawapres, Prabowo – Hatta dan Jokowi – JK. Mungkin popularitas keduanya di masyarakat tidak dapat dibendung oleh bakal calon lain untuk memberikan alternatif yang lebih banyak bagi masyarakat.
Pemilihan presiden secara langsung di Indonesia “kabar-kabarnya” adalah sebuah pesta rakyat untuk memilih siapa yang akan menjadi pemimpin negeri selama satu periode (lima tahun). Adalah sebuah hak yang mutlak bagi masyarakat untuk menentukan pilihannya termasuk juga pilihan untuk tidak memilih dalam situasi politik yang hampa ideologi. Secara rasional, calon presiden terbaiklah yang seharusnya masyarakat pilih. Tentu kriteria terbaik sendiri akan memunculkan banyak varian sesuai dengan kepentingan masing-masing kelompok dalam masyarakat. Tetapi secara garis besar, pemimpin terbaik adalah pemimpin yang mampu menghadirkan solusi untuk kesejahteraan dan ketentraman masyarakatnya. Artinya penggunaan kata pesta dalam frasa pesta rakyat merujuk kepada sebuah kepentingan yang sangat besar dari masyarakat yang termanifestasikan dalam diri setiap pilihannya. Hal ini berarti ada sebuah kepentingan yang harus diperjuangkan dalam setiap momentum pilpres.

Lalu benarkah pemilihan presiden secara langsung di Indonesia saat ini adalah sebuah pesta bagi masyarakatnya? Mungkin pernyataan tersebut adalah benar bagi sebuah negeri yang berdaulat. Sebuah negeri yang dibangun di atas kekuatan rakyatnya, bukan oleh para elitnya saja. Sebuah negeri yang mana masyarakatnya memiliki akses penuh terhadap segala sumber daya yang ada di dalam negerinya. Dan sebuah negeri yang tentu saja tidak di-dikte oleh kekuatan-kekuatan selain dari pada kekuatan rakyat sebagai satu-satunya pemegang kepentingan. Lalu bagaimana jika situasi tersebut belum terwujud? Nampaknya penggunaan frasa di atas dalam memaknai pilpres di Indonesia perlu untuk ditinjau kembali.

Lalu mengapa banyak pendukung dan simpatisan dari kedua pasang calon sering menunjukkan perilaku irasional dalam mendukung masing-masing jagoannya? Yang terkadang tak tahu lagi batas malu dalam menunjukkan kebodohannya di khalayak publik. Yang selalu memancing kita pada sebuah perdebatan yang sangat jauh dari substansi persoalan-persoalan pokok bangsa. Yang pada akhirnya menggiring kita ke bilik suara untuk sebuah alasan yang serba remang. Sementara di lain sisi, kita tahu melalui pengalaman yang sudah-sudah bahwa tidak ada perubahan kesejahteraan yang signifikan dari setiap kali terjadi pergantian tampuk kepemimpinan di negeri ini.

Mungkin akan banyak tafsir yang muncul dari setiap individu ketika dihadapkan pada kondisi ini. Namun ada beberapa hal yang patut diperhatikan ketika perilaku irasional yang akhir-akhir ini bak virus yang dengan sangat cepat menjangkit para pendukung kedua pasang calon. Pertama, adalah permainan isu-isu sektarian (dalam hal ini ras dan agama) oleh oknum-oknum laknat yang dengan sangat berhasil memancing ketakutan massa mayoritas terhadap nilai-nilai pluralisme. Ini bisa dilihat ketika salah satu pasangan atau keduanya diserang dengan isu-isu seperti agamanya yang non mayoritas, atau sukunya yang non pribumi, maka api akan terpantik dan dengan sangat cepat menjalar ke seluruh segmen masyarakat. Kedua, tumbuh berkembangnya “pasukan pencari nasi bungkus” yang sebenarnya memiliki sifat yang tak jauh dari para oligarki itu sendiri, yakni “kalap rente”.


Kehadiran kelompok ini dengan irasionalitasnya siap untuk menghadirkan irasionalitas yang lebih luas kepada masyarakat umum untuk melancarkan jalan bagi dewa-dewa pujaannya ke tampuk kekuasaan. Dalam situasi yang serba remang inilah kita sebagai bagian dari masyarakat sebaiknya tidak memberikan dukungan yang membabi buta kepada calon-calon tertentu, melainkan sebuah dukungan kritis. Sebuah sikap dukungan yang memberikan celah lebar terhadap kritik untuk jagoannya yang tentu saja bukanlah dewa. Sebuah dukungan yang berfokus pada hal-hal substantif mengenai kesejahteraan masyarakat secara luas Dan sebuah dukungan yang senantiasa memperdebatkan konsep teoritis yang ditawarkan oleh masing-masing calon serta siap melakukan pengawalan kritis secara programatik pasca calon yang didukungnya terpilih. Sehingga nantinya, frasa “pesta rakyat” yang identik dengan situasi penuh kegembiraan akibat asa yang begitu besar akan perubahan ke arah yang lebih baik tidak hanya sekedar “kabar-kabarnya” saja.

KUALITAS PEMILU DITENTUKAN OLEH RAKYAT

Oleh : Lintong Simbolon
Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan ajang pembuktian bagi warga negara, apakah mampu memilih pemimpin yang sesuai harapan atau tidak.  Untuk menjadi pemilih rasional bukan perkara gampang. Akan banyak rintangan yanga akan dihadapi para pemilih. Pertama, iming-iming kenikmatan sesaat baik berupa tawaran uang atau hal-hal lain yang bisa memabukkan, sehingga pemilih lupa akan tujuan utamanya dalam memilih.
Kedua, kemungkinan adanya tarikan kultural dan ideologi yang kuat juga bisa menyebabkan para pemilih tak lagi mempertimbangkan rasionalitas dalam menggunakan hak pilihnya. Karena pertimbangan kekerabatan dan kesamaan agama misalnya, rasionalitas bisa saja diabaikan.
Ketiga, menurut data yang dianggap valid, mayoritas pemilih merupakan mereka yang berpendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) ke bawah. Tingkat pendidikan yang rendah, meskipun belum tentu identik dengan kualitas yang rendah, paling tidak bisa menjadi bukti awal kemungkinan adanya kekurangcermatan dalam memilih disebabkan karena minimnya wawasan dan pengetahuan.
Pemilihan Langsung (Pemilu) sudah menjadi pilihan negara Indonesia dalam melaksanakan suatu sistem demokrasi untuk melahirkan pemerintahan yang dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Demokrasi menghendaki, kekuasaan tidak dipegang oleh segelintir orang dan menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan kelompok tertentu. Kekuasaan yang dilahirkan melalui sistem demokrasi saat ini diharapankan mampu membawa negara ini menjadi bangsa yang mandiri, berdaulat dan bermartabat.
Rakyat mempunyai peran yang sangat penting dalam sebuah pelaksanaan demokrasi melalui pemilu. Bagi mereka yang haus akan kekuasaan dan kekayaan, demokrasi hanyalah sebagai alat yang mereka gunakan untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Mereka bersembunyi dibalik janji-janji untuk mensejahterakan rakyat. Demokrasi hendak menjawab dua pertanyaan penting: untuk kepentingan siapa kekuasaan dijalankan (demokrasi substansial) dan bagaimana kekuasaan itu dikelola (demokrasi prosedural). Dua pertanyaan kunci ini juga bisa dikemukakan dalam konteks Pemilu : untuk kepentingan siapa Pemilu dilaksanakan dan bagaimana menjamin Pemilu agar kepentingan rakyat betul-betul diakomodasi.
Demokrasi yang mengartikan bahwa kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat harus sungguh-sunguh mampu dimaknai secara logis oleh rakyat itu sendiri. Kualitas dalam pelaksanaan demokrasi dalam konteks Pemilu, partisipasi rakyat sangatlah penting dan mendesak. Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Maka dalam Pemilu tersebut rakyat harus menggunakan kedaulatannya dengan baik dan benar. Keterlibatan aktif masyarakat dalam seluruh tahapan Pemilu sangat dibutuhkan. Masyarakat perlu lebih kritis dan mengetahui secara sadar nasib suara yang akan diberikannya. Suara kita memiliki nilai penting bagi kualitas demokrasi demi perbaikan nasib kita sendiri.

Untuk memaksimalkan peran warga negara dalam memilih, rintangan-rintangan itu harus diatasi, misalnya dengan pendidikan dan penyadaran yang terus-menerus kepada segenap warga negara agar mereka betul-betul menyadari hak-haknya, dan bisa memfungsikan hak-haknya itu untuk kemajuan bangsa dan negaranya.