“saya hidup bukan atas kemauan,
ide, perbuatan, dan karya saya namun bergantung pada orang lain yang berkuasa
lebih dari saya” sehingga mereka
memanfaatkan kondisi dan situasi untuk memperdaya saya untuk bekerja walau “katanya
memiliki hak sama di tanah ibu pertiwi” namun
untuk bertahan hidup saya memberikan hak saya dirampas untuk kata “hidup”
inilah realita jertian
Kesejangan Sosial
Kesenjangan
bukanlah hal tabu bagi negara-negara underdog,
hal yang menjadi makanan
sehari-hari menengok perampasan hak secara eksplisit maupun implisit dalam
habitus bermasyarakat, apalagi blia bukan efek sesat liberal yang mengakibatkan
tersebut. Underdog bukanlah hal yang
diinginkan oleh masyarakat yang ditabukan oleh kepentingan elit politik namun
hanya ingin merasakan rasanya hidup makmur. Mereka tidak paham apa itu ideolgi
yang mengangkangi rezim pemerintahan ini yang kecuali pancasila , tidak paham
akan namanya sikut-sikutan antar
sesama saudara dan tak paham namanya menjadi seorang sapi perah untuk nadi orang lain, artinya masyarakat hanyalah objek
dari trias politica negara sendiri
yang menyusun kebijakan atas dasar ideologi suntikan yang memaksakan kaum-kaum
borjuis import untuk menguasai harta kekayaan ibu pertiwi, dimana pertarungan
antara Liberas melawan Nasionalis dimulut saja, yang pada akhirnya dikalahkan
oleh nafsu manusiawia nan beragama apalagi bila bukan “kertas merah” . Mudahnya birokrat-birokrat bangsa terjajakan oleh
materi untuk sebuah kepentingan elit politik bukan lain adalah akibat pudarnya
ideologi atau identitas diri bangsa yang tercerminkan dari birokrat dan warga
negara negara tersebut yaitu “Pancasila”. Tanpa ideologi dan tanpa identitas
diri sebagai sebuah negara yang ditanamkan sejak dini dalam seluruh masyarakat
Indonesia akan mempengaruhi identitas bangsa dan tujuan bangsa yang tidak jelas
arahnya.
Adidaya
liberal yang merasuk kedalam sel-sel seluruh bangsa dengan tiga tahapan jitu yaitu
pertama menguasai kekuasaan pemerintahan dan politik bangsa untuk kebijakan
kaum-kaum pemodal tanpa mengindahkan amanat rakyat. Kedua menanamkan ide,
manajemen, kegiatan, dan kemegahan infrastruktur untuk mengubah masyarakat
sesuai kebutuhan pasar sehingga transisi masyarakat kultur berubah menjadi
masyarakat individualis yang ekspatasi mengarah pada hedonis masyarakat, ketiga
selalu berusaha melemahkan bahkan mematikan gerakan perlawanan masyarakat
terhadap ketidakadilan yang ada dalam masyarakat. Secara sadar atau tidak sadar
problematika yang hadir telah bersifat struktur dan inilah menjadi tantangan
yang harus dijawab bersama oleh elemen masyarakat.
Efek
kesenjangan sosial merupakan konsumsi mata sehari-hari, dimana si miskin hanya sebagai sapi perah yang diupah dengan gaji
sangat rendah, padahal bahan mentah hasil si
miskin yang akan diolah tersebut akan berimpact
tinggi bagi kebutuhan pasar dengan kepastian harga yang tinggi, sehingga
kehidupan mereka hanya untuk “bertahan
hidup” artinya “saya hidup bukan atas
kemauan, ide, perbuatan, dan karya saya namun orang lain yang berpower lebih
dari saya “ kasarnya adalah pelanggaran hak kodrati sebagai manusia dengan
kategori pelanggaran HAM namun terlihat lumrah karena pasar meminta seperti
itu. Si
kaya hanya mengoalah saja dan berspekulasi harga dengan daya tawar menawar
agar mempengaruhi pasar, memperluas kegiatan usaha dengan memanfaatkan
keuntungan menjadi modal dalam ekspansi pasar.
Sehingga
memungkinkan fantasi mereka yang tak pernah mereka bayangkan menjadi kenyataan,
sedangkan para si miskin cukup dengan
fantasi saja. Mereka memberi upah pekerja dengan nilai miris dan murah, dimana pangkal
masalah adalah kebijakan pemerintah terhadap upah tidak selaras terhadap
kepentingan masyarakatnya , sistem pengawasan yang tidak transparan, dan proses
penyelesaian sengketa atas dasar pemodal. Inilah hal yang perlu dijawab bersama
apakah ini akan dibiarkan saja atau menjadi perlawanan bersama untuk menjadi
sejarah yang dapat diceritakan sebagai perjuangan bagi generasi selanjutnya
utnuk melawan namanya “pemiskinan” struktural yang sengaja dibangun oleh ideologi
dan kaum borjuis import yang tidak kenal belas kasih.
Gerakan
struktural adalah jawaban taktis dalam menjawab keresahan kesenjangan tanpa
batas yang hadir dalam masyarakat, pergerakan laten Kaum Intelektualis Populis
( Aktivis dan Mahasiswa ) dalam mengakomodir masyarakat bukan lagi kebutuhan
namun telah menjadi kewajiban untuk mengkritisi segala kebijakan-kebijakan yang
dibuat oleh penguasa bangsa agar
kebijakan-kebijakan pemberi jarak dalam masyarakat heterogen ini tidak menjadi
konflik kepentingan mengatasnamakan kesenjangan sebagai alasan. Masyarakat
tidak tahu dengan sistem dan kepura-puraan mereka hanya tahu kabar dan berita sehingga
kepolosan watak masyrakat kultural terpovokasi oleh isu-isu taktis pengubah
masyarkat menjadi individual. Tantangan ini perlu dijawab bersama, karena
perhari ini organ-organ masyarakat hanya beraksi berdasarkan politik dan
ideologi organ, tapi tidak berdasarkan masalah yang sama dan suara organ-organ
masyrakat adalah suara rakyat, untuk menahan arus liberal pangkal utama
kesenjangan harus mampu mengerakkan isu masa berdasarkan kebutuhan masyarakat
dan mengajak mereka bahwa inilah kebutuhan bersama. Menjadi kontemplasi bersama
bagaimaana kesiapan sebagai seorang kaum intelektulis Populis dalam diri dan
berujuang hingga kesenjangan hak dan hidup di tubuh ibu pertiwi tidak menjadi
tangis arwah-arwah pejuang bangsa?.
Presidium Gerakan Masyarakat 2013-2015