Oleh : Markus
Triwahyudi-Presidium Gerakan Kemasyarakatan PMKRI Cab B. Lampung
2012-2013
Pemilihan presiden secara langsung di
Indonesia “kabar-kabarnya” adalah sebuah pesta rakyat untuk memilih siapa yang
akan menjadi pemimpin negeri selama satu periode (lima tahun). Adalah sebuah
hak yang mutlak bagi masyarakat untuk menentukan pilihannya termasuk juga
pilihan untuk tidak memilih dalam situasi politik yang hampa ideologi. Secara
rasional, calon presiden terbaiklah yang seharusnya masyarakat pilih. Tentu
kriteria terbaik sendiri akan memunculkan banyak varian sesuai dengan
kepentingan masing-masing kelompok dalam masyarakat. Tetapi secara garis besar,
pemimpin terbaik adalah pemimpin yang mampu menghadirkan solusi untuk
kesejahteraan dan ketentraman masyarakatnya. Artinya penggunaan kata pesta
dalam frasa pesta rakyat merujuk kepada sebuah kepentingan yang sangat besar
dari masyarakat yang termanifestasikan dalam diri setiap pilihannya. Hal ini
berarti ada sebuah kepentingan yang harus diperjuangkan dalam setiap momentum
pilpres.
Lalu benarkah pemilihan presiden secara
langsung di Indonesia saat ini adalah sebuah pesta bagi masyarakatnya? Mungkin
pernyataan tersebut adalah benar bagi sebuah negeri yang berdaulat. Sebuah
negeri yang dibangun di atas kekuatan rakyatnya, bukan oleh para elitnya saja.
Sebuah negeri yang mana masyarakatnya memiliki akses penuh terhadap segala
sumber daya yang ada di dalam negerinya. Dan sebuah negeri yang tentu saja tidak
di-dikte oleh kekuatan-kekuatan selain dari pada kekuatan rakyat sebagai
satu-satunya pemegang kepentingan. Lalu bagaimana jika situasi tersebut belum
terwujud? Nampaknya penggunaan frasa di atas dalam memaknai pilpres di
Indonesia perlu untuk ditinjau kembali.
Mungkin akan banyak tafsir yang muncul
dari setiap individu ketika dihadapkan pada kondisi ini. Namun ada beberapa hal
yang patut diperhatikan ketika perilaku irasional yang akhir-akhir ini bak
virus yang dengan sangat cepat menjangkit para pendukung kedua pasang calon.
Pertama, adalah permainan isu-isu sektarian (dalam hal ini ras dan agama) oleh
oknum-oknum laknat yang dengan sangat berhasil memancing ketakutan massa mayoritas
terhadap nilai-nilai pluralisme. Ini bisa dilihat ketika salah satu pasangan
atau keduanya diserang dengan isu-isu seperti agamanya yang non mayoritas, atau
sukunya yang non pribumi, maka api akan terpantik dan dengan sangat cepat
menjalar ke seluruh segmen masyarakat. Kedua, tumbuh berkembangnya “pasukan
pencari nasi bungkus” yang sebenarnya memiliki sifat yang tak jauh dari para
oligarki itu sendiri, yakni “kalap rente”.
Kehadiran kelompok ini dengan
irasionalitasnya siap untuk menghadirkan irasionalitas yang lebih luas kepada
masyarakat umum untuk melancarkan jalan bagi dewa-dewa pujaannya ke tampuk
kekuasaan. Dalam situasi yang serba remang inilah kita sebagai bagian dari
masyarakat sebaiknya tidak memberikan dukungan yang membabi buta kepada
calon-calon tertentu, melainkan sebuah dukungan kritis. Sebuah sikap dukungan
yang memberikan celah lebar terhadap kritik untuk jagoannya yang tentu saja
bukanlah dewa. Sebuah dukungan yang berfokus pada hal-hal substantif mengenai
kesejahteraan masyarakat secara luas Dan sebuah dukungan yang senantiasa
memperdebatkan konsep teoritis yang ditawarkan oleh masing-masing calon serta
siap melakukan pengawalan kritis secara programatik pasca calon yang didukungnya
terpilih. Sehingga nantinya, frasa “pesta rakyat” yang identik dengan situasi penuh
kegembiraan akibat asa yang begitu besar akan perubahan ke arah yang lebih baik
tidak hanya sekedar “kabar-kabarnya” saja.