T = Bung Joko Tingtong, saya kebetulan membaca catatan kritis
Bung tentang Tuhan dan agama. Menurut Bung, Tuhan cuma ada di kepala
saja. Sekadar konsep ato kesadaran tertinggi. Begitu juga Agama. Inti
argumentasi Bung: Semua agama hanya imajinasi pikiran atau proyeksi diri
manusia & Tuhan tidak eksis. Saya hormati kebebasan berpikir &
kesimpulan Bung tsb. Buat saya, argumen ini sungguh menarik sekaligus
merangsang pikiran. Meski saya tahu ia bukan barang baru dalam dunia
ide, melainkan sudah amat klasik bahkan antik. Ia sudah jadi problem
filsafat sejak dulu, kendati polemik dan relevansinya tak pernah habis
ditelan zaman. Saya sendiri ada yg setuju dan tidak dengan argumentasi
Bung tsb. Mungkin ide-ide ini perlu dihadapkan pada test-test atau ujian
agar layak diterima logika. Dalam kaitan ini, saya ingin mengajukan
beberapa pertanyaan, sekaligus menunjukkan posisi intelektual saya.
Siapa saja boleh memeriksa logika yg dipakai, lalu menyimpulkan apakah
ia cukup layak diterima atau sebaliknya. Namun, saya sadar ruangan ini
terlalu sempit. Sukar berdiskusi secara dalam. Oleh karena itu, kita
barangkali harus puas dengan garis besarnya saja.
Begini:
Bung menyimpulkan Tuhan tak ada kecuali kesadaran belaka. Tapi, dari
mana datangnya kesadaran itu? Mengapa ada kesadaran? Siapa yg menanamnya
ke dalam manusia? Mengapa hanya manusia yg memilikinya dan binatang
tidak?
J = Saya tidak pernah bilang
Tuhan tidak ada; yg saya bilang bahwa Tuhan, baik disebut sebagai Allah
ataupun berbagai istilah lainnya merupakan bagian dari kesadaran kita
sendiri. Saya bilang: kesadaran itu selalu satu, dan ada jenis kesadaran
tinggi yg bisa kita rasakan ketika gelombang otak kita turun ke level
samadhi atau meditasi mendalam. Ketika kita samadhi, kita cuma merasakan
bahwa kita sadar. Kita sadar bahwa kita sadar, aware of being aware.
Tuhan atau Allah itu cuma istilah untuk merujuk kepada kesadaran kita
sendiri pada saat itu. Karena kita sadar bahwa kita sadar, maka kita
bilang bahwa Tuhan ada. Siapa yg menanamnya ke dalam manusia tentu saja
tidak ada seorangpun yg akan bisa menjawabnya. Dari dahulu sampai
sekarang tidak ada yg pernah bisa menjawab pertanyaan siapa yg menaruh
kesadaran itu di dalam diri kita manusia.
Kita bisa
juga ambil contoh pengalaman pribadi dari kesaksian mereka yg hidup
dalam budaya semitik (Yahudi, Nasrani, Islam) di dalam kitab-kitab yg
disucikan oleh ketiga agama itu. Kitab tertua adalah Genesis yg ditulis
oleh Nabi Musa. Disitu Musa menceritakan kisah Abraham (atau Nabi
Ibrahim menurut Islam). Abraham bertemu dengan Allah ketika dia hendak
menyembelih anaknya Ishak (atau Ismail menurut Islam). Tetapi,
bagaimanakah caranya Abraham bisa mendengar suara Allah kalau bukan dari
kesadarannya sendiri? Jadi, kesadaran di diri Abraham bilang, jangan
sembelih anak itu karena aku bukan Allah yg haus darah manusia,melainkan
haus darah kambing. Ada kambing di situ yg bisa menggantikan anakmu
sebagai korban sembelihan bagiku. Itulah pengalaman Abraham seperti
tertulis di kitab Genesis.
Musa sendiri bertemu
dengan Allah yg berbicara dari dalam semak belukar. Semak belukar kok
bisa bicara? Tentu saja tidak. Yg berbicara adalah kesadaran di dalam
diri Musa sendiri. Bisa kita katakan bahwa itu kesadaran tinggi yg ada
di Musa. Allah yg muncul dari dalam semak belukar itu akhirnya
memerintahkan Musa untuk membawa bangsa Israel untuk keluar dari Mesir
dan masuk ke Kanaan (Palestina).
Kalau kita ambil
contoh dari kisah para nabi Yahudi lainnya, semua mengakui panggilan
dari Allah yg datangnya dari dalam kesadaran mereka sendiri itu.
"Samuel!
Samuel!" Dan Samuel kecil kebingungan karena ada suara yg memanggil
tanpa ada orangnya. Dan itulah awal panggilan Allah terhadap Nabi Samuel
yg nanti akan menobatkan Saul, raja pertama orang Yahudi, dan Daud,
raja Yahudi teragung sepanjang masa sampai saat ini, yg sangat beriman
dan sangat manusiawi juga. Daud ini kemudian dikenal menulis kitab
Zabur. Zabur itu Kitab Mazmur yg ada di dalam Alkitab. Isinya apa? Tidak
lain dan tidak bukan merupakan kumpulan syair lagu semata. Daud seorang
penyair. Nubuah dari Daud bentuknya bait-bait lagu.
Berikut petikan dari Mazmur 23, yg ditulis oleh Raja Daud, dan menurut saya merupakan inti dari iman semitik:
Tuhan adalah Gembalaku, takkan kekurangan aku.
Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau...
Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya,
sebab Engkau besertaku...
Simbolik
sekali bukan? Daud berbicara tentang Allah yg adanya di dalam kesadaran
dirinya sendiri, dan bukan dimana-mana. Bukan di atas langit.
T
= Begitu pula agama. Kalau asalnya dari dalam dirimanusia, siapa yg
menaruhnya? Sedangkan kalau dari luar, mengapa hanya manusia yg bereaksi
terhadap agama sedangkan binatang tidak, pedahal keduanya memiliki
lingkungan yg sama?
J = Agama-agama itu semuanya
buatan manusia. Siapa yg menaruh agama di dalam kesadaran manusia?
Tidak ada yg menaruhnya, tentu saja. Bukan barang, tidak bisa ditaruh.
Agama diciptakan oleh kesadaran manusia sendiri. Berdasarkan kontemplasi
dari Daud tentang Tuhan sebagai gembala manusia, contohnya, maka mereka
yg memiliki kecenderungan naturalis bisa saja membuat agama yg
menyembah alam, Tuhan sebagai alam. Itu bisa saja dilakukan, mengapa
tidak?
T = Ada yg menyindir fase sejarah
(Teologi, Metafisik, Positivis) Auguste Comte (1798-1857). Comte bilang:
zaman kuno orang tak punya jawaban sehingga harus menciptakan Tuhan.
Tapi kaum Materialisme bilang: manusia mahluk intelektual dan binatang
mahluk bodoh. Bukankah ini berarti yg pandai jadi bodoh dan yg bodoh
jadi lebih pandai?
J = Saya tidak pernah
mempertentangkan berbagai aliran filsafat. Yg saya tahu bahwa setiap
manusia memiliki kesadaran yg, kalau dikultivasi, akan memunculkan
kesadaran tinggi. Kesadaran tinggi itu dirasakan oleh manusianya
sendiri. Daud bergelut dengan Tuhan dari hari ke hari selama puluhan
tahun hidupnya. Bisa juga dikatakan bahwa Daud bergelut dengan kesadaran
tinggi yg ada di dirinya sendiri. Dari pergelutan manusia dengan
kesadaran tinggi di dalam dirinya, maka lahirlah berbagai macam hasil
perenungan, hasil kontemplasi. Bagi Daud, hasil kontemplasinya adalah
bait-bait lagu itu yg diabadikan menjadi bagian dari kitab yg disucikan
oleh kaum Yahudi dan Nasrani sampai saat ini. Tuhannya ada dimana?
Tuhannya ada di dalam kesadaran Daud, dan di dalam kesadaran mereka yg
membaca hasil kontemplasi Daud.
T =
Bagaimana Bung tahu Tuhan tak ada? Manusia belum pernahmenjelajah sampai
ke ujung jagad raya? Manusia mahluk terbatas dengan pengetahuan
terbatas. Bukankah berlebihan bila manusia mengklaim mengetahui Tuhan
tak ada?
J = Sekali lagi, saya tidak
pernah bilang Tuhan tidak ada. Yg saya bilang, Tuhan adalah bagian dari
kesadaran di diri manusia. Anggaplah sebagai kesadaran tinggi. Saya
sadar bahwa saya sadar. Saya sadar bahwa saya ada. Karena saya ada, maka
Tuhan ada. Kalau saya tidak ada, maka Tuhan tidak ada. Rene Descartes
bilang: Cogito ergo sum. I think, therefore I am. Saya
berpikir maka saya ada. Kalau saya tidak berpikir, maka saya tidak ada.
Kalau saya tidak ada namanya kosong. Umat Buddhist mungkin akan merujuk
hal kosong itu sebagai nibbana. Kosong, nothing. Mungkin
kesadaran kita antara ada dan tiada. Kalau kita berpikir, maka kita ada.
Kalau kita tidak berpikir, maka kita tidak ada. Malahan, di dalam
tradisi India yg notebene non semitik, keadaan kosong atau tiada itu
adalah puncak tertinggi dari eksistensi manusia. Kosong, nothing,
nibbana. Kenapa? Mungkin karena mereka mengerti bahwa yg ada munculnya
dari yg tidak ada. Ada muncul karena tiada. Tanpa tiada tidak bisa
muncul ada. Tanpa ketiadaan, anda tidak bisa ada. Anda ada karena
sesuatu yg bernama tiada.
T = Dalam sejarah
filsafat, tak satu pun filsuf berani menyimpulkan dirinya tahu Tuhan tak
ada. Itulah sebabnya lahir aliran Agnostisisme. Tapi, Bung Joko
sekarang berani menyimpulkan sebaliknya, apakah Bung Joko sedang
meninggikan diri melebihi manusia biasa lainnya?
J =
Para filsuf itu tahu bahwa yg disebut Tuhan adalah konsep belaka.
Konsep yg dibuat oleh manusia. Sebagai konsep, tentu saja Tuhan ada.
Siapa bilang konsep Tuhan tidak ada? Saya tidak pernah berpikir saya
meninggikan atau merendahkan diri saya. Yg saya tahu, saya berbicara dan
menulis apa adanya saja. Dari apa yg saya pelajari dan alami sendiri
tentang spiritualitas manusia dari berbagai latar belakang, saya
mencapai kesimpulan bahwa kita ada karena kita ada, dan segala macam
spekulasi tentang adanya Tuhan atau tidak adanya Tuhan itu tidak ada
gunanya. Kita cuma tahu bahwa kita ada karena kita ada, kita sadar bahwa
kita sadar. We are aware of being aware. Dan awareness
atau kesadaran itu bisa menghasilkan berbagai macam kontemplasi, baik
bersifat keagamaan maupun tidak. Dan semuanya itu termasuk dalam
spiritualitas manusia dimana manusianya akan berusaha untuk menjadi
dirinya sendiri, semakin lama semakin menjadi dirinya sendiri. Dengan
jatuh bangun, dengan kemenangan dan kekalahan. Dan apakah kisah jatuh
bangun yg sangat manusiawi itu kalau bukan yg telah dialami juga oleh
mereka yg saat ini digelari sebagai nabi-nabi?
Sidharta Gautama yg digelari sebagai Buddha Sakyamuni mengalaminya.
Isa bin Maryam yg digelari sebagai Yesus Kristus atau Isa al Masih juga mengalaminya.
Konghucu mengalaminya.
Orang-orang Sufi mengalaminya.
Murid-murid
Yesus yg penuh dengan Roh Kudus juga mengalaminya. Roh Kudus itu apa
kalau bukan kesadaran yg terbuka di diri manusianya sendiri? Kalau
mereka telah 10 hari dan 10 malam berpuasa dan berdoa dengan khusyuk,
tentu saja Roh Kudus akan datang dan mereka akan bisa berbicara apa
adanya saja, tanpa takut. Dan itu tidak lain dan tidak bukan merupakan
manifestasi dari kesadaran di diri mereka sendiri. Bukan kerasukan
malaikat ataupun jin.
T = Saya
melihat justru argumentasi Theisme lebih rasional.Menurut Theisme, meski
Tuhan tak dapat dilihat, eksistensinya bisa disadari melalui observasi
dan induksi. Sama seperti kita mencoba menyadari benda-benda yg tak
terlihat. Tuhan itu eksis dengan mengamati efeknya. Hukum gravitasi,
misalnya. Kita mustahil mengamatinya langsung. Kita hanya bisa mengamati
efeknya. Dari efek inilah kita bisa membuat acuan rasional tentang
keberadaan suatu sebab. Begitu juga dengan pikiran manusia. Kita tahu
hanya dari efeknya. Sebuah buku, misalnya, adalah efek yg dihasilkan
oleh penulis di belakangnya (preexisting intelligence). Kita bisa
yakin bahwa buku itu ditulis oleh seseorang, tanpa kita harus
melihatnya. Sebab menurut pengalaman kita, tak ada binatang, badai,
hujan atau kekuatan alam lainnya sanggup memproduksi buku.
J =
Argumentasi Theisme adalah argumentasi tentang eksistensi Tuhan. Ada
orang yg percaya kepada Tuhan karena percaya kepada argumentasi Theisme.
Apanya yg salah?
T = Selanjutnya, saya
ingin beralih ke ide lain, yaitu Tuhan sebagai proyeksi diri manusia.
Ide ini sebetulnya berasal dari Feuerbach. Dialah orang pertama yg
mencoba memberi dasar ilmiah kepada Atheisme. Argumentasinya menjadi
pola kritik agama paling berpengaruh hingga saat ini. Bahkan idenya
diikuti oleh Nietzsche, Freud, Marx,dll. Sekarang oleh Bung Joko
Tingtong.
J = Terima kasih telah menjejerkan saya dengan Nietzsche, Freud, dan Marx.
T
= Namun, ada unsur yg tak bisa dijelaskan oleh Feuerbach dengan teori
proyeksi-nya. Jika benar Tuhan hanya proyeksi manusia, mengapa Tuhan
selalu dimaknai tak terhingga (maha)? Manusia tak hanya menyebut Tuhan
itu baik, bijaksana atau berkuasa. Namun, lebih dari itu, Maha-baik,
Maha-bijaksana dan Maha-kuasa. Padahal, pengalaman manusia, termasuk
pengalaman diri kita sendiri, tak ada yg tak terhingga (maha). Jadi, tak
mungkin unsur tak terhingga (maha) ini merupakan proyeksi hakekat
manusia. Sebab, dalam hakekat manusia unsur ketakterhinggaan ini tak ada
secara empiris!
J = Karena “maha” itu tak ada
secara empiris, maka dijadikanlah sebagai atribut dari Tuhan. Bisa juga
dikatakan bahwa atribut maha ini dan maha itu merupakan sesuatu yg
potensial di diri kita manusia. Tuhan maha pengasih dan maha penyayang
merupakan suatu atribut. Kenapa kita bilang Tuhan sebagai maha pengasih
dan maha penyayang? Karena kita tahu bahwa bagi kita manusia sangat
susah untuk menjadi pengasih dan penyayang tanpa diskriminasi. Lalu kita
proyeksikanlah ide itu kepada sesuatu yg kita sebut sebagai Allah.
Kalau sudah pakai istilah "maha", maka sudah merupakan proyeksi. Manusia
ingin seperti itu, ingin menjadi "maha", maka diproyeksikanlah ide itu
kepada Tuhan apapun yg dipilihnya. Bukankah itu yg dijelaskan oleh
Feuerbach? Proyeksi artinya membayangkan sesuatu ada di sesuatu yg lain.
Anda tinggal bayangkan saja bahwa Tuhan anda bersifat serba "maha",
maka jadilah. Proyeksi bekerja seperti itu.
T
= Kendati demikian, saya setuju separuh dengan Feuerbach bahwa manusia
bisa menciptakan Tuhan. Namun, Tuhan ciptaan ini tak mungkin Tuhan
sejati. Artinya, manusia memang potensial menciptakan Tuhan palsu. Entah
dengan imajinasi, prasangka atau emosi. Tapi sungguh keliru kalau
memakai titik tolak ini untuk memahami Tuhan yg sejati. Jadi, teori
proyeksi memiliki kelemahan-kelemahan yg serius. Teori ini gagal
menjelaskan hal yg paling hakiki dari pengalaman agama. Teori ini juga
tak bisa membuktikan bahwa semua ciri yg dimiliki Tuhan adalah proyeksi
diri manusia.
J = Saya cuma bisa bilang
bahwa proyeksi itu benar. Semua atribut Tuhan adalah konsep. Manusia yg
mengkonsepkannya, dan memproyeksikannya kepada Tuhannya. Kita
memproyeksikan apa yg kita rasa tidak ada di diri kita kepada sesuatu yg
kita sebut sebagai Tuhan dan juga Setan. Kalau kita anggap baik, maka
kita sebut atribut Tuhan. Kalau kita anggap jelek, maka kita sebut
atribut Setan. Pedahal Tuhan dan Setan itu merupakan istilah saja, dan
atribut-atributnya merupakan proyeksi dari sifat-sifat yg ada di diri
kita juga, walaupun mungkin sedikit dibesar-besarkan. Konsep Tuhan dan
Setan adalah kreasi manusia.
T = Namun, sebagai
kritik agama, teori proyeksi memberikan sumbangan penting. Ia
menyadarkan kita bahwa manusia kerap menciptakan illah-illah palsu.
Fenomena hidup sehari-hari banyak mengkonfirmasikan fakta ini. Orang
menyembah sesuatu yg ia ciptakan sendiri. Tapi, sekali lagi, ini adalah
perkara lain, ketika kita bicara Tuhan yg sejati. Disini, kita perlu
hati-hati dan kritis untuk bisa membedakannya.
J =
Tuhan yg sejati adalah yg tidak bisa dibicarakan. Lao Tze dari Cina
sudah bilang hal itu 2,500 tahun yg lalu. Dia bilang: Tao yg bisa
dibicarakan bukanlah Tao. Tuhan yg bisa dibicarakan bukanlah Tuhan.
T =
Banyak teori tentang timbulnya agama telah ditulis sepanjang sejarah.
Beragam penulis memberi kontribusinya. Ada pemikir seperti John Lubbock,
Edward Taylor, Max Muller. Ada juga tokoh-tokoh kebudayaan modern,
seperti Immanuel Kant, Thomas Henry Huxley, Charles Kingsley, Albert
Ritschl, dll. Namun, hemat saya, tak ada satu pun interpretasi yg
benar-benar akurat dan meyakinkan tentang kosmos, kecuali sekadar kita
apresiasi sebagai spekulasi pikiran. Apalagi mereka yg menulis, tidak
hidup di zaman agama yg dianalisanya itu.
J =
Teori tentang kosmos atau alam semesta secara fisik merupakan bidang
lain lagi. Itu fisika. Penelitiannya tidak pernah habis, tidak pernah
tuntas diteorikan. Kalau membicarakan tentang Tuhan dan agama-agama,
namanya bukan fisika melainkan metafisika dimana kita akan selalu harus
memperhitungkan kesadaran yg ada di diri manusia yg menciptakan segala
macam simbol-simbol yg hakekat atau essensinya berada di luar dari
simbol-simbol itu sendiri. Makna dari simbol selalu berada di luar dari
simbol itu sendiri. Makna dari Tuhan sebagai simbol selalu berada di
luar Tuhan. Kalau di luar Tuhan, maka dimana lagi kalau bukan di diri
kita sendiri? Arti dari Tuhan ditemukan di dalam diri kita, dan arti
dari diri kita ditemukan di dalamTuhan. Tapi, tentu saja, yg kita sebut
Tuhan dan kita di situ hanyalah kesadaran yg satu itu, yg adanya di tiap
orang dari kita. Kita bermain dengan kesadaran kita sendiri saja. God playing with Himself or Herself.
T
= Saya sendiri menghormat Feuerbach, karena teorinya bisa dipakai untuk
membongkar kemunafikan para agamawan. Buat saya, Feuerbach berhasil
membangun kritik sekaligus tantangan yg perlu diperhatikan para
agamawan. Dari teori Feuerbach, kita tahu banyak kaum agamawan
sebenarnya menipu diri dengan mengatakan ia mencari Tuhan, padahal yg
dia cari hanya dirinya sendiri.
J = Tentu saja, dan saya sudah pernah bilang tidak usah mencari kesana kemari, karena adanya di dalam kesadaran kita sendiri saja. God is part of our consciousness. Tuhan bagian dari kesadaran kita. Kesadaran kita yg menciptakan konsep Tuhan.
T
= Sama halnya dengan anggapan Hedonisme. Menurut Hedonisme, manusia
selalu mencari nikmatnya sendiri saja. Kalaupun seseorang berkorban
untuk orang lain atau mengejar cita-cita luhur, ia sebenarnya hanya
mencari kenikmatan sendiri saja. Bagi saya, kritik agama tetap penting
dan relevan. Tapi, bukan untuk menyangkali Tuhan, apalagi menganggapnya
sekedar ilusi. Kritik agama berguna sekadar membantu kita menyadari
fakta sekaligus membongkar kemunafikan dan kebusukan praktek agama, yang
telah merusak kehidupan. Yang membuat orang makin membenci agama.
J =
Kritik agama selalu berguna. Agama merupakan kreasi manusia belaka, dan
kemampuan kita untuk mengkritik agama membuktikan bahwa agama memang
ciptaan manusia. Kalau agama bukan ciptaan manusia, maka apapun yg kita
lakukan tidak akan bisa mengubah agama. Tetapi ternyata kita bisa
mengubah agama. Kita bisa membongkar agama lama dan menciptakan agama
baru. Sejarah membuktikannya.
Semua agama itu
memang ciptaan manusia. Para Tuhan di agama-agama itu merupakan proyeksi
dari kesadaran manusia. Ludwig Feurbach benar.
...................................................................
Oleh : Leonardo Rimba
Sumber : https://www.facebook.com/notes/leonardo-rimba/saya-disejajarkan-dengan-nietzsche-freud-dan-marx/638611769491459