Politik sering dikatakan sebagai
salah satu dimensi kebudayaan, bisa hadir ke dalam banyak dimensi. Politik bisa
berdimensi banyak. Dengan politik, arah kebudayaan dan peradaban manusia
“ditentukan”. Biasanya orang mengaitkan politik darj perspektif keilmuan, seni
dan permainan. Politik bisa membuat seseorang
tampil “dewasa”, menjadi sosok yang bijak, tetapi tetap objektif dan realistis.
Para politisi yang matang telah mengalami proses berliku-liku dan penuh
tantangan. Sebagaimana telah disinggung oleh Sejarawan Kuntowijoyo (almarhum),
politik kadang-kadang membuat pelakunya berkacamata kuda alias myopic. Orang
yang berpolitik bisa terjebak menjadi “manusia satu dimensi”, ujar Herbert
Mescuse. Apalagi kalau berpolitiknya terangkai oleh satu dimensi yang sempit.
Dalam perspektif keilmuan,
sebenarnya seorang pemimpin politik tidaklah harus ahli ilmu politik. Tidak
semua pemimpin politik berlatar belakang seorang intelektual, yang mempelajari
ilmu politik secara formal, seperti Cosmas Batubara yang merupakan mahasiswa
FISIP UI yang memperjuangkan berdiri tegaknya Indonesia yang menjunjung tinggi
Pancasila sebagai ‘alat pemersatu’ bagi bangsa ini sampai pada pembentukan KAMI
dan memperjuangkan TRITURA, walaupun para politisi dituntut agar dapat
berargumentasi secara baik dan tertata. Namun seorang politisi yang baik adalah
seorang yang memiliki wawasan politik yang baik. Hal ini terbukti pada pentas
politik di setiap negara, bahwa hanya politisi yang memiliki wawasan politik
kuatlah yang bertahan, dan yang tidak kuat akan gugur ditengah jalan atau
bahkan telah terlibas di awal perjalanan.
Realita dunia telah bertutur,
bahwa banyak pemimpin politik lahir bukan hanya berasal dari para ahli politik
murni. Militer, pebisnis, petani, insinyur, aktivis, cendikiawan, bahkan aktor
dan artis film pun pernah mewarnai belantara perpolitikan dunia. Pada dasarnya
mereka hadir atas dalih sebuah panggilan suara nurani mereka untuk mengabdi
kepada apa yang menjadi kepentingannya. Bisa jadi kepentingan dirinya sendiri,
kepentingan kelompoknya, atau yang lebih patriot lagi untuk kepentingan negara.
Dalam politik semua bisa direkayasa dan beringas. Namun untunglah, Muhammad
Natsir jauh-jauh hari telah mengingatkan para politisi untuk tetap menjaga
etikanya dalam berpolitik.
Perspektif seni berkata lain
lagi. Politik acapkali juga disebut “seni kemungkinan” (the art of
possibilities), apa yang tidak mungkin, bisa menjadi mungkin dalam
politik. Dalam berpolitik ada diplomasi, negosiasi, koalisi, dan kampanye. Di
sesi-sesi itu ada seni untuk meyakinkan. Politik telah dipercaya ampuh mengubah
seseorang dari “nothing” menjadi “something”, setelah dikemas sedemikian rupa
sehingga dapat tampil menarik di panggung.
Bagi yang belum berkuasa,
politik adalah seni meraih kekuasaan dengan upaya-upaya yang khas untuk menarik
dukungan. Bagi yang sudah “berkuasa”, politk beralih menjadi seni untuk
memutuskan suatu kebijakan yang berdampak pada organisasi yang ia pimpin.
Karya-karyanya akan terus menjadi ingatan yang membekas dan pertimbangannya
juga dinilai oleh publik. Kehidupan pribadinya semakin kian terkikis karena
semua gerak-geriknya akan dipantau oleh publik.
Namun ada yang berpendapat lain.
Misalnya John Kenneth Galbraith tidak setuju bahwa politik adalah seni
kemungkinan, politics is not the art of the possible. It consists in
choosing between the disastrous and the unpalatable, kira-kira begitu
ulasan darinya. Hanya ada dua pilihan dalam berpolitik: malapetaka atau yang
tidak menyenangkan. Pandangan ini kerap menjadi opsi bagi kalangan apatis
karena alasan “tidak ada pilihan yang baik” sehingga ia memilih “untuk tidak
memilih” dalam pemilu.
Bagaimana dengan perspektif
permainan? Dalam politik ada kompetisi, dimana pasti ada pihak yang harus kalah
dan menang. Panggung politik menjadi arena untuk berkonstelasi, dimana para
kontestannya saling berlaga untuk menjadi pemenang. Layaknya sebuah permainan,
politik menghadapkan kekuatan-kekuatan yang ada didalam suatu kompetisi politik.
Kalau ada pelaku politik berjumlah banyak, maka diniscayakan adanya koalisi
politik, untuk menghadapi yang lain. Democration is the only game
in town, adalah konteks yang disampaikan oleh Linz dan Stepan. Di negara
penganut demokrasi adalah keniscayaan untuk melakukan pemilihan umum. Pemilihan
umum adalah momentum besar yang dilakukan untuk mengukur kekuatan politiknya
melelui media yang dewasa ini sudah dirasa tidak berdiri diatas kode etik pers
dan bahkan sudah dipolitisasi oleh berbagai kepentingan. Seberapa besar tingkat
elektabilitas penawaran politiknya ke masyarakat akan terkuak disana. Memang seringkali ada yang tidak
jujur dalam permainan politik, dengan menggunakan cara yang tidak lazim,
termasuk politik uang (money politics) maupun media politik. Hal inilah
yang memicu beberapa kalangan untuk menutup matanya terhadap dunia politik.
Padahal, didalamnya tidak semua aktor politik melakukan hal itu semua.
Tapscott (2006) mengidentifikasi
arti penting masyarakat yang terkoneksi pada era teknologi digital. Menurut
Tapscott, koneksi pada era digital akan menghasilkan unit-unit komunikasi yang
memiliki potensi untuk mengorganisasi diri sendiri. Bahkan, apabila unit-unit
yang mengorganisasi diri sendiri itu berkolaborasi secara massal, ia menjadi jejaring
masyarakat (network society) yang berkuasa membuat perubahan. Jejaring
masyarakat dapat menjadi media politik untuk mencapai tujuan (Castell, 2010).
Apa konsekuensi keberadaan media
sosial, apabila mampu berfungsi sebagai media politik bagi anggotanya? Castell
menyebutkan, munculnya pesan-pesan politik (melalui media sosial) yang lebih
personal untuk mengungkap perilaku politik para pemimpin publik. Unit-unit yang
mengorganisasi diri di media sosial menyebarkan informasi mengenai perilaku
para pemimpin politik. Bahkan, media sosial dapat menjadi sumber informasi bagi
media tradisional, seperti surat kabar dan majalah, mengenai perilaku politik
yang salah (wrong doing).
Data perilaku politikus di
Indonesia, yang menggunakan media sosial, belum banyak dieksploitasi oleh para
peneliti. Sedikit informasi mengenai perilaku politikus dalam bermedia sosial
disampaikan oleh sekelompok peneliti yang tergabung dalam Uvolution Indonesia
(Maret, 2011). Kelompok peneliti itu mewawancarai 53 anggota DPR, sebagai data sampel
560 anggota DPR 2009-2014. Dari data sampel, didapatkan anggota DRR memiliki
akun media sosial Facebook (71.7%) dan Twitter ( 25,6%).
Data sampel penelitian
menunjukkan anggota DPR bermedia sosial. Namun, data penggunaan media sosial
anggota DPR belum menggambarkan anggota DPR sebagai unit-unit komunikasi yang
mampu mengorganisasi diri untuk kepentingan yang mewakili publik. Pesan-pesan
di media sosial mengenai perilaku politik, anggota dewan, cenderung belum
favourable di mata publik. Sebutlah beberapa, misalnya
kegiatan studi banding ke luar negeri, yang dilakukan anggota DPR,
dipersepsikan publik sebagai kegiatan tidak efektif dan boros. Anggota dewan
juga pernah dijadikan bulan-bulanan oleh anggota jejaring sosial karena
ditengarai mengunduh dengan sengaja gambar porno di ruangan rapat parlemen.
Anggota DPR kini tidak dapat
menghindar sebagai bagian wajah politik Indonesia yang kian terpersonalisasi.
Anggota parlemen kini menjadi subjek pengawasan (surveillance) dari publik,
yang mampu mengorganisasi dirinya melalui teknologi informasi. Publik kini
sebagai aktor pengawas pemimpin politik seperti anggota DPR. Sejak era reformasi, jagat
politik kita sudah banyak berubah. Keran demokrasi telah dibuka
selebar-lebarnya, agar menjadi semakin dewasa. Hal ini dibuktikan dengan
perbincangan politik media yang semakin menggeliat, bahkan kadang tak bisa
dikontrol. Apalagi panggung perpolitikan telah membuka pendaftaran kontestan
dari berbagai pihak. Pada dasarnya politik bersifat netral, namun aktornya lah
yang menentukan bagaimana pola gerak perpolitikannya.
Politik menjadi sarang kekejaman
jika semata-mata hanya berfokus pada “political game” yang menyulut api
semangat “kalah-menang”. Padahal, politik itu seyogyanya berparadigma “win-win”,
sehingga tidak ada yang kalah, tetapi semuanya merasa menang. Singkat katanya,
adalah pemimpin politik harus “memenangkan semua pihak”. Dalam kondisi menguatnya
penggunaan media sosial di Indonesia, sebagaimana dikemukakan oleh Presiden
SBY, dan pengawasan publik melalui media sosial kepada para pemimpin politik,
anggota DPR dituntut menjadi aktor politik yang mampu berjejaring sosial di
tingkat dunia. Anggota DPR dapat menjadi wakil publik Indonesia yang tidak
hanya membawa pesan golongannya, namun sebagai bagian dari jejaring aktor-aktor
politik tingkat dunia, untuk mendorong governance yang diidamkan masyarakat
dunia. (Semoga)
-dalam syarat mengikuti LKK Jogja 2011
L. Rosinta H.P. Purba
Tidak ada komentar:
Posting Komentar