Memilih perwakilan Wakil Rakyat dan
Kepala Rakyat Lampung termasuk yang menjadi wakil dari ‘barang’ yang disebut rakyat
ini. Wakil para
pemulung, buruh cuci, buruh bangunan, PSK, petugas parkir, tukang sol sepatu, penjual
Koran, pengamen sampai wakil dari kaum borjuis dan jetset
menjadi alasan terjadinya hal nan
langka seperti lengangnya jalan protokol pada hari dan jam kerja sampai tutupnya aktivitas
bisnis seantero Bandar Lampung. Suatu perhelatan
besar menilai performa kader-kader dari beberapa kelompok atau lebih tepatnya
orang-orang yang mengelompokkan diri didalam sesuatu dan disebut Partai. Apakah demikian? Dengan alasan nan mulia seperti
mengorbankan jam kerja-kerja efektif PNS, BUMN, BUMD mengorbankan puluhan ribu
dollar sampai waktu bimbingan skripsi bagi para Mahasiswa (salah satunya) demi terselenggaranya PEMILU Legislatif dan Gubernur
yang akan menentukan nasib Bangsa dan Lampung 5 tahun kedepan. Pertanyaan
tersebut mengusik pemikiran merdeka setiap kita.
Pengorbanan tersebut apakah sebanding
dengan realisasi pesta demokrasi yang diadakan tuan rumah yaitu KPU. Tak kurang
menariknya, perhelatan akbar ini menggelontorkan dana
Rp 16
Triliun. Angka yang sangat
fantastis dan sangat masuk akal apabila seandainya didukung oleh karakter
personal tiap pihak yang ikut andil ambil bagian dalam aksi eksekusi keputusan
demokrasi secara merdeka.
Pertama, Menjadi pasar bagi para pemain,
yaitu ide bisnis terkini abad ini bisnis
politk, perdagangan politik atau bahkan ranah liberal ‘monopoli pasar politik’
pemodal dengan modal terbesar akan memegang kedaulatan tertinggi dalam sistem
kepemimpinan Negara yang dahulu disebut Harimau Asia ini. Menimbulkan rumusan
baru pengelolaan kepemimpinan Negara, semakin tinggi modal yang dimiliki caleg
maupun calon pemimpin daerah/Negara maka semakin megah tahta menjadi pemimpin. Bahkan
menarik simpati orang banyak dengan kegiatan-kegiatan besar seperti pembagian
sembako bahkan sosialisasi mengenai dasar Negara yang dibalut kampanye politik.
Mungkin suatu hari nanti akan sampai pada Partai sebagai Event Organizer. Menjadi EO untuk tujuan menciptakan pencitraan
dengan performa terheboh sehingga mampu menguasi pasar perpolitikan.
Menjajakkan diri, merayu bahkan menjilat demi citra baik dimata publik. Lucunya
Negeri ini!
Kedua, kesadaran masyarakat ‘melek
politik’ yang menjadi rancu, terlalu tinggi atau sangat ‘jongkok’. “Tanpa
pelicin sulit untuk bisa masuk kedalam masyarakat, slogan saat ini NPWP-Nomor piro wani piro? Menjadi karang
yang bercokol kuat dalam tubuh-tubuh masyarakat, ini berkaitan dengan suara petinggi-petinggi
dalam masyarakat.” (kalimat singkat dari seorang aktivis partai). Kertas dengan
tertera angka nominal yang dibedakan oleh warna menjadi tiket, pelicin, sarana
dan kunci utama dalam menarik simpati masyarakat. Kemerdekaan berfikir dan
memilih dalam masyarakat sudah luntur dan digantikan oleh seberapa tebal biru-merahnya
kertas dan/atau seberapa banyaknya pengganjal perut yang ditawarkan kader-kader
kebanggaan wakil partai. Tak heran, bila nasib bangsa ini tak lebih dari urusan
perut yang bertahan sebanyak nominal yang didapatkan!
Menilik imbas Bisnis Politik, rusaknya
mental masyarakat dengan larut dan hanyut dalam sistem liberalisasi politik.
Transaksi jual-beli harga diri-suara dan
kehormatan pilihan dengan lembaran kertas bergambar Pahlawan Nasional I Gusti
Ngurah Rai bahkan Dr. Ir. Soekarno Hatta/Dr. H. Mohammad Hatta. Hal persiapan
pun tak kalah lucunya yaitu persiapan Bangsal rehabilitasi dalam Rumah Sakit
Jiwa (RSJ) bagi kader-kader emas partai yang tidak sanggup menghadapi berbagai
kenyataan keras dengan tidak mampu menembus angka aman perolehan suara partai
mulai dari pencurian suara oleh oknum sampai habisnya puing-puing harta
kekayaan untuk cost politics termasuk
‘Serangan Fajar’ bahkan transaksi jual-beli surat suara. Who knows?
Biru, Merah bahkan segudang pengganjal perut yang
menggantikan kemerdekaan berfikir dan memilih mungkin hanya bertahan menyambung
hidup rentangan waktu tak lebih dari 1 Minggu, namun pilihan untuk tidak ‘Sesat
sejak dalam pikiran’ dengan tidak menerima suguhan kertas berwarna paling tidak
memberikan kesempatan untuk bangkit menuju Kemandirian Indonesia selama 5 tahun
kedepan
dan memungkinkan kebaikan bagi generasi mendatang
dimulai dari Kemerdekaan Berfikir dan Memilih. Semoga!
(L.
Rosinta H.P. Purba)
Sekretaris Jendral PMKRI Cab. B. Lampung
2013/2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar