Kamis, 17 April 2014

PEMILU Ajang Memilih Merdeka Berfikir

Memilih perwakilan Wakil Rakyat dan Kepala Rakyat Lampung termasuk yang menjadi wakil dari ‘barang’ yang disebut rakyat ini. Wakil para pemulung, buruh cuci, buruh bangunan, PSK, petugas parkir, tukang sol sepatu, penjual Koran, pengamen sampai wakil dari kaum borjuis dan  jetset menjadi alasan terjadinya hal nan langka seperti lengangnya jalan protokol pada hari dan jam kerja sampai tutupnya aktivitas bisnis seantero Bandar Lampung. Suatu perhelatan besar menilai performa kader-kader dari beberapa kelompok atau lebih tepatnya orang-orang yang mengelompokkan diri didalam sesuatu dan disebut Partai. Apakah demikian? Dengan alasan nan mulia seperti mengorbankan jam kerja-kerja efektif PNS, BUMN, BUMD mengorbankan puluhan ribu dollar sampai waktu bimbingan skripsi bagi para Mahasiswa (salah satunya) demi terselenggaranya PEMILU Legislatif dan Gubernur yang akan menentukan nasib Bangsa dan Lampung 5 tahun kedepan. Pertanyaan tersebut mengusik pemikiran merdeka setiap kita.
Pengorbanan tersebut apakah sebanding dengan realisasi pesta demokrasi yang diadakan tuan rumah yaitu KPU. Tak kurang menariknya, perhelatan akbar ini menggelontorkan dana Rp 16 Triliun. Angka yang sangat fantastis dan sangat masuk akal apabila seandainya didukung oleh karakter personal tiap pihak yang ikut andil ambil bagian dalam aksi eksekusi keputusan demokrasi secara merdeka.
Pertama, Menjadi pasar bagi para pemain, yaitu ide bisnis terkini abad ini bisnis politk, perdagangan politik atau bahkan ranah liberal ‘monopoli pasar politik’ pemodal dengan modal terbesar akan memegang kedaulatan tertinggi dalam sistem kepemimpinan Negara yang dahulu disebut Harimau Asia ini. Menimbulkan rumusan baru pengelolaan kepemimpinan Negara, semakin tinggi modal yang dimiliki caleg maupun calon pemimpin daerah/Negara maka semakin megah tahta menjadi pemimpin. Bahkan menarik simpati orang banyak dengan kegiatan-kegiatan besar seperti pembagian sembako bahkan sosialisasi mengenai dasar Negara yang dibalut kampanye politik. Mungkin suatu hari nanti akan sampai pada Partai sebagai Event Organizer. Menjadi EO untuk tujuan menciptakan pencitraan dengan performa terheboh sehingga mampu menguasi pasar perpolitikan. Menjajakkan diri, merayu bahkan menjilat demi citra baik dimata publik. Lucunya Negeri ini!
Kedua, kesadaran masyarakat ‘melek politik’ yang menjadi rancu, terlalu tinggi atau sangat ‘jongkok’. “Tanpa pelicin sulit untuk bisa masuk kedalam masyarakat, slogan saat ini NPWP-Nomor piro wani piro? Menjadi karang yang bercokol kuat dalam tubuh-tubuh masyarakat, ini berkaitan dengan suara petinggi-petinggi dalam masyarakat.” (kalimat singkat dari seorang aktivis partai). Kertas dengan tertera angka nominal yang dibedakan oleh warna menjadi tiket, pelicin, sarana dan kunci utama dalam menarik simpati masyarakat. Kemerdekaan berfikir dan memilih dalam masyarakat sudah luntur dan digantikan oleh seberapa tebal biru-merahnya kertas dan/atau seberapa banyaknya pengganjal perut yang ditawarkan kader-kader kebanggaan wakil partai. Tak heran, bila nasib bangsa ini tak lebih dari urusan perut yang bertahan sebanyak nominal yang didapatkan!  
Menilik imbas Bisnis Politik, rusaknya mental masyarakat dengan larut dan hanyut dalam sistem liberalisasi politik. Transaksi jual-beli harga diri-suara dan kehormatan pilihan dengan lembaran kertas bergambar Pahlawan Nasional I Gusti Ngurah Rai bahkan Dr. Ir. Soekarno Hatta/Dr. H. Mohammad Hatta. Hal persiapan pun tak kalah lucunya yaitu persiapan Bangsal rehabilitasi dalam Rumah Sakit Jiwa (RSJ) bagi kader-kader emas partai yang tidak sanggup menghadapi berbagai kenyataan keras dengan tidak mampu menembus angka aman perolehan suara partai mulai dari pencurian suara oleh oknum sampai habisnya puing-puing harta kekayaan untuk cost politics termasuk ‘Serangan Fajar’ bahkan transaksi jual-beli surat suara. Who knows?
Biru, Merah bahkan segudang pengganjal perut yang menggantikan kemerdekaan berfikir dan memilih mungkin hanya bertahan menyambung hidup rentangan waktu tak lebih dari 1 Minggu, namun pilihan untuk tidak ‘Sesat sejak dalam pikiran’ dengan tidak menerima suguhan kertas berwarna paling tidak memberikan kesempatan untuk bangkit menuju Kemandirian Indonesia selama 5 tahun kedepan dan memungkinkan kebaikan bagi generasi mendatang dimulai dari Kemerdekaan Berfikir dan Memilih. Semoga!
 
(L. Rosinta H.P. Purba)
Sekretaris Jendral PMKRI Cab. B. Lampung 2013/2015.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar