Senin, 21 April 2014

Melankolisasi dan Kepemimpinan Politik dalam Artikulasi Media Sosial-Politik



Politik sering dikatakan sebagai salah satu dimensi kebudayaan, bisa hadir ke dalam banyak dimensi. Politik bisa berdimensi banyak. Dengan politik, arah kebudayaan dan peradaban manusia “ditentukan”. Biasanya orang mengaitkan politik darj perspektif keilmuan, seni dan permainan. Politik bisa membuat seseorang tampil “dewasa”, menjadi sosok yang bijak, tetapi tetap objektif dan realistis. Para politisi yang matang telah mengalami proses berliku-liku dan penuh tantangan. Sebagaimana telah disinggung oleh Sejarawan Kuntowijoyo (almarhum), politik kadang-kadang membuat pelakunya berkacamata kuda alias myopic. Orang yang berpolitik bisa terjebak menjadi “manusia satu dimensi”, ujar Herbert Mescuse. Apalagi kalau berpolitiknya terangkai oleh satu dimensi yang sempit.

Dalam perspektif keilmuan, sebenarnya seorang pemimpin politik tidaklah harus ahli ilmu politik. Tidak semua pemimpin politik berlatar belakang seorang intelektual, yang mempelajari ilmu politik secara formal, seperti Cosmas Batubara yang merupakan mahasiswa FISIP UI yang memperjuangkan berdiri tegaknya Indonesia yang menjunjung tinggi Pancasila sebagai ‘alat pemersatu’ bagi bangsa ini sampai pada pembentukan KAMI dan memperjuangkan TRITURA, walaupun para politisi dituntut agar dapat berargumentasi secara baik dan tertata. Namun seorang politisi yang baik adalah seorang yang memiliki wawasan politik yang baik. Hal ini terbukti pada pentas politik di setiap negara, bahwa hanya politisi yang memiliki wawasan politik kuatlah yang bertahan, dan yang tidak kuat akan gugur ditengah jalan atau bahkan telah terlibas di awal perjalanan.

Realita dunia telah bertutur, bahwa banyak pemimpin politik lahir bukan hanya berasal dari para ahli politik murni. Militer, pebisnis, petani, insinyur, aktivis, cendikiawan, bahkan aktor dan artis film pun pernah mewarnai belantara perpolitikan dunia. Pada dasarnya mereka hadir atas dalih sebuah panggilan suara nurani mereka untuk mengabdi kepada apa yang menjadi kepentingannya. Bisa jadi kepentingan dirinya sendiri, kepentingan kelompoknya, atau yang lebih patriot lagi untuk kepentingan negara. Dalam politik semua bisa direkayasa dan beringas. Namun untunglah, Muhammad Natsir jauh-jauh hari telah mengingatkan para politisi untuk tetap menjaga etikanya dalam berpolitik.

Perspektif seni berkata lain lagi. Politik acapkali juga disebut “seni kemungkinan” (the art of possibilities), apa yang tidak mungkin, bisa menjadi mungkin dalam politik. Dalam berpolitik ada diplomasi, negosiasi, koalisi, dan kampanye. Di sesi-sesi itu ada seni untuk meyakinkan. Politik telah dipercaya ampuh mengubah seseorang dari “nothing” menjadi “something”, setelah dikemas sedemikian rupa sehingga dapat tampil menarik di panggung.

Bagi yang belum berkuasa, politik adalah seni meraih kekuasaan dengan upaya-upaya yang khas untuk menarik dukungan. Bagi yang sudah “berkuasa”, politk beralih menjadi seni untuk memutuskan suatu kebijakan yang berdampak pada organisasi yang ia pimpin. Karya-karyanya akan terus menjadi ingatan yang membekas dan pertimbangannya juga dinilai oleh publik. Kehidupan pribadinya semakin kian terkikis karena semua gerak-geriknya akan dipantau oleh publik.

Namun ada yang berpendapat lain. Misalnya John Kenneth Galbraith tidak setuju bahwa politik adalah seni kemungkinan, politics is not the art of the possible. It consists in choosing between the disastrous and the unpalatable, kira-kira begitu ulasan darinya. Hanya ada dua pilihan dalam berpolitik: malapetaka atau yang tidak menyenangkan. Pandangan ini kerap menjadi opsi bagi kalangan apatis karena alasan “tidak ada pilihan yang baik” sehingga ia memilih “untuk tidak memilih” dalam pemilu.

Bagaimana dengan perspektif permainan? Dalam politik ada kompetisi, dimana pasti ada pihak yang harus kalah dan menang. Panggung politik menjadi arena untuk berkonstelasi, dimana para kontestannya saling berlaga untuk menjadi pemenang. Layaknya sebuah permainan, politik menghadapkan kekuatan-kekuatan yang ada didalam suatu kompetisi politik. Kalau ada pelaku politik berjumlah banyak, maka diniscayakan adanya koalisi politik, untuk menghadapi yang lain. Democration is the only game in town, adalah konteks yang disampaikan oleh Linz dan Stepan. Di negara penganut demokrasi adalah keniscayaan untuk melakukan pemilihan umum. Pemilihan umum adalah momentum besar yang dilakukan untuk mengukur kekuatan politiknya melelui media yang dewasa ini sudah dirasa tidak berdiri diatas kode etik pers dan bahkan sudah dipolitisasi oleh berbagai kepentingan. Seberapa besar tingkat elektabilitas penawaran politiknya ke masyarakat akan terkuak disana. Memang seringkali ada yang tidak jujur dalam permainan politik, dengan menggunakan cara yang tidak lazim, termasuk politik uang (money politics) maupun media politik. Hal inilah yang memicu beberapa kalangan untuk menutup matanya terhadap dunia politik. Padahal, didalamnya tidak semua aktor politik melakukan hal itu semua.

Tapscott (2006) mengidentifikasi arti penting masyarakat yang terkoneksi pada era teknologi digital. Menurut Tapscott, koneksi pada era digital akan menghasilkan unit-unit komunikasi yang memiliki potensi untuk mengorganisasi diri sendiri. Bahkan, apabila unit-unit yang mengorganisasi diri sendiri itu berkolaborasi secara massal, ia menjadi jejaring masyarakat (network society) yang berkuasa membuat perubahan. Jejaring masyarakat dapat menjadi media politik untuk mencapai tujuan (Castell, 2010).

Apa konsekuensi keberadaan media sosial, apabila mampu berfungsi sebagai media politik bagi anggotanya? Castell menyebutkan, munculnya pesan-pesan politik (melalui media sosial) yang lebih personal untuk mengungkap perilaku politik para pemimpin publik. Unit-unit yang mengorganisasi diri di media sosial menyebarkan informasi mengenai perilaku para pemimpin politik. Bahkan, media sosial dapat menjadi sumber informasi bagi media tradisional, seperti surat kabar dan majalah, mengenai perilaku politik yang salah (wrong doing).

Data perilaku politikus di Indonesia, yang menggunakan media sosial, belum banyak dieksploitasi oleh para peneliti. Sedikit informasi mengenai perilaku politikus dalam bermedia sosial disampaikan oleh sekelompok peneliti yang tergabung dalam Uvolution Indonesia (Maret, 2011). Kelompok peneliti itu mewawancarai 53 anggota DPR, sebagai data sampel 560 anggota DPR 2009-2014. Dari data sampel, didapatkan anggota DRR memiliki akun media sosial Facebook (71.7%) dan Twitter ( 25,6%).

Data sampel penelitian menunjukkan anggota DPR bermedia sosial. Namun, data penggunaan media sosial anggota DPR belum menggambarkan anggota DPR sebagai unit-unit komunikasi yang mampu mengorganisasi diri untuk kepentingan yang mewakili publik. Pesan-pesan di media sosial mengenai perilaku politik, anggota dewan, cenderung belum favourable di mata publik. Sebutlah beberapa, misalnya kegiatan studi banding ke luar negeri, yang dilakukan anggota DPR, dipersepsikan publik sebagai kegiatan tidak efektif dan boros. Anggota dewan juga pernah dijadikan bulan-bulanan oleh anggota jejaring sosial karena ditengarai mengunduh dengan sengaja gambar porno di ruangan rapat parlemen.

Anggota DPR kini tidak dapat menghindar sebagai bagian wajah politik Indonesia yang kian terpersonalisasi. Anggota parlemen kini menjadi subjek pengawasan (surveillance) dari publik, yang mampu mengorganisasi dirinya melalui teknologi informasi. Publik kini sebagai aktor pengawas pemimpin politik seperti anggota DPR. Sejak era reformasi, jagat politik kita sudah banyak berubah. Keran demokrasi telah dibuka selebar-lebarnya, agar menjadi semakin dewasa. Hal ini dibuktikan dengan perbincangan politik media yang semakin menggeliat, bahkan kadang tak bisa dikontrol. Apalagi panggung perpolitikan telah membuka pendaftaran kontestan dari berbagai pihak. Pada dasarnya politik bersifat netral, namun aktornya lah yang menentukan bagaimana pola gerak perpolitikannya.

Politik menjadi sarang kekejaman jika semata-mata hanya berfokus pada “political game” yang menyulut api semangat “kalah-menang”. Padahal, politik itu seyogyanya berparadigma “win-win”, sehingga tidak ada yang kalah, tetapi semuanya merasa menang. Singkat katanya, adalah pemimpin politik harus “memenangkan semua pihak”. Dalam kondisi menguatnya penggunaan media sosial di Indonesia, sebagaimana dikemukakan oleh Presiden SBY, dan pengawasan publik melalui media sosial kepada para pemimpin politik, anggota DPR dituntut menjadi aktor politik yang mampu berjejaring sosial di tingkat dunia. Anggota DPR dapat menjadi wakil publik Indonesia yang tidak hanya membawa pesan golongannya, namun sebagai bagian dari jejaring aktor-aktor politik tingkat dunia, untuk mendorong governance yang diidamkan masyarakat dunia. (Semoga)

-dalam syarat mengikuti LKK Jogja 2011
L. Rosinta H.P. Purba

Tidak ada komentar:

Posting Komentar