Minggu, 11 Agustus 2013

Menulis Tak Sekedar Buang Hajat

“Oh ini Pram, Pram kau ini bukan nulis, kau ini berak,” ucap Idrus sang sastrawan saat Pramoedya Ananta Toer memperkenalkan diri padanya. Pram waktu itu sebenarnya sudah menulis beberapa cerita, bahkan sudah dibukukan. Meski di masa itu ia masih kalah pengalaman dan kualitas dibandingkan si ikon cerpen Indonesia, karya Pram tentulah tidak jelek-jelek amat. Tapi, seperti pengakuan Pram sendiri, kritik pedas Idrus tadi memang jadi pemicu utama kegilaannya belajar menulis. Hasilnya kita bisa lihat dalam ketajaman karya-karya Pram, lama sesudah sindiran Idrus itu.
Sikap “menulis bukan sekedar buang hajat,” kalau kita mau haluskan seruan Idrus itu, memang serasa semakin utopis di jaman ini, khususnya di Indonesia.

Di dunia penulisan fiksi, karya populer kita semakin kehilangan keindahan karya sastra, lebih lagi kehilangan pendalaman atas realita. Efek blogging, jejaring sosial dan fenomena kajian gaul ala teenlit, memang turut memberi pengaruh pada dangkalnya kualitas penulisan karya-karya yang disukai. Kebanyakan penulis populer saat ini hanya menulis berdasar pengalaman dan curahan hati, ditambah bumbu dramatisirnya. Awalnya tren ini memang baik dalam menerobos karya penulisan sebelumnya, yang cenderung bereksperimen tak tentu dan memberi kesan jauh dari pembaca. Namun sekarang yang nampak justru kita semakin tak bisa membedakan antara karya-karya penulisan populer dengan diary seorang anak lebay, selain karena yang pertama menghasilkan uang banyak. Kedua karya tadi ditulis oleh kebanyakan orang yang sekedar buang hajat. Herannya memang banyak yang suka mengunyah “hajatannya” itu.

Pustaka penulisan ilmiah kita juga menjadi sekedar jamban. Para penulisnya digerayapi beban harus selesai segera dengan gaya seilmiah mungkin, seolah berarti ilmiah itu adalah anti keindahan. Menyelami sebagian besar pustaka ilmiah Indonesia kita akan menemui kata yang diulang-ulang, kalimat-kalimat mati dengan poin-poin sebagai penanda. Ya, ini buang hajat juga.

Bagaimana dengan kualitas media pemberitaan? Meski masih ada yang sangat lugas dan luwes, namun kita patut tetap prihatin. Makin maraknya gaya pemberitaan pemandiran (dumbing down) terutama di pemberitaan koran internet, serta semakin sedikitnya media yang memberi perhatian pada jurnalisme sastrawi agaknya menyiratkan bahwa jurnalis kita mungkin sudah kebanyakan makan “rujak pedas” komersialisasi dan mikroletisasi media sehingga merekapun harus sering buang hajat pula.

Selebihnya tengoklah forum diskusi, situs-situs informasi sampai kiprah orang-perorang (termasuk yang katanya orang besar) di akun jejaring sosialnya. Fenomena buang hajat akan semakin kelihatan. Status soal makanan masakan Mbak sebelah rumah, informasi soal sejarah palsu Candi Boko, catatan panjang dengan bahasa cengeng dan alay soal diputuskan pacar dan komentar-komentar sekedar menikmati kejatuhan orang, ah... tidakkah banyak dari kita sudah sedari awal mencium bau “hajatan” itu? Atau jangan-jangan perilaku dunia internet ini yang justru semakin mendorong orang semakin suka buang hajat lewat tulisan?

Semua itu menghibur memang. Sesekali tentu sangat enak jika dinikmati. Tapi jika terlalu sering kita akan semakin sulit menemukan apalagi menghasilkan tulisan yang benar-benar harta atau makanan yang berharga.

Entah terlau idealis atau tidak, saya pribadi kangen akan karya-karya sastra Indonesia yang mendalami ceruk-meruk realita dan keindahan berbahasa sekaligus juga menjadi populer dibaca khayalak ramai. Para sastrawan tadi melakukan riset dan menggali realita dengan keindahan. Hingga manusia yang membaca karya mereka sekarang atau kelak bisa melihat potret latarnya dengan jelas, layaknya orang bisa melatar cara hidup orang Inggirs Abad ke-19 dengan membaca Charles Dickens, atau orang Indonesia bisa mendapat gambaran hidup tentang sejarah pergerakan saat membaca tetralogi Pram. Hingga orang-orang bisa mendapat pelajaran hidup yang begitu kaya layaknya membaca Tolstoy dan Hemingway. Atau membuat kita jadi merenung karena membaca kejujuran yang menelanjangi diri layaknya dulu orang membaca Chekov dan Idrus. Lebih dari itu tertoreh keindahan yang takkan puas dengan sekali baca. Para pengarang populer luar negeri mungkin sudah sedikit berhasil, entah kalau pengarang populer kita.

Saya juga rindu uraian ilmiah modern seperti Black Swan-nya Talleb atau Creation-nya Hawking disintesis menjadi gaya tersendiri oleh ilmuan kita sebagai variasi dalam penulisan karya ilmiah. Rasanya dulu Soe Hok Gie pernah mempopulerkan gaya penulisan ilmiah seperti itu. Karya yang membuat mata dan hati kita tetap enak membaca sembari otak kita mencerna ide-ide ilmiah yang digelontorkan. Pengalaman beberapa lama dalam mengedit dan menerjemahkan karya ilmiah membuat saya masih harus berkecil hati mengingat betapa sedikitnya ilmuan kita yang berani beranjak ke arah ini.

Lebih lagi saya benar-benar kedana agar jurnalisme sastrawi tetap muncul dan turut merenda media kita. Dulu Majalah Tempo, Intisari dan Pantau pernah begitu indah menghiasi dinding hati dan pemikiran pembacanya dengan jurnalisme sastrawi. Indah, faktual, kreatif, sekaligus cerdas, sehingga kita tak perlu minder bahkan berharap bisa menyaingi reportase naratif ala The New Yorker. Sayang memang semua terbentur pada biaya.

Gerakan Netizen, yang menekankan perlunya tanggung jawab dan etika dalam ber-posting ria di internet mungkin sedikit menghalau pesimisme saya akan harapan agar orang-orang mau mengurangi buang hajatnya di dunia maya dan mengunggah hanya hal-hal yang mendukung kemaslahatan. Masih jauh dari nyata memang, tapi toh sudah terlalu terlambat untuk sekedar pesimis dan tak memulai apa-apa. Mudah-mudahan status, catatan, dan postingan lain dari generasi ini bisa semakin menggugah dan mengunggah kemajuan, bukan malah memundurkan otak atau menganuskan media penyampaian abjad dan kata-kata.

Bukankah banyak orang yang juga ingin mengurangi buang hajatnya saat menulis, atau setidaknya tak ingin melulu dijahati dengan di-“hajati”? Kita mungkin semakin perlu melatih diri menulis dan mengajarkannya. Bisa jadi ada kebodohan yang terus kita pelihara dalam kurikulum tentang penulisan di sekolah formal selama ini, hingga kita belum bisa membedakan menulis dengan buang hajat. Ya, terkadang kita memang perlu orang-orang seperti Idrus, guru yang menggoncangkan sesuatu sembari mencontohkan yang baik. Mudah-mudahan Pram-pram yang sekarang tengah buang hajat saat menulis, tersentak dan mau gila-gilaan belajar.

...................................................
Oleh Risdo Simangunsong
Sumber :  https://www.facebook.com/notes/lentera-pranahara/menulis-tak-sekedar-buang-hajat/196128250471489


Tidak ada komentar:

Posting Komentar