Senin, 12 Agustus 2013

Saya Disejajarkan dengan Nietzsche, Freud dan Marx

T = Bung Joko Tingtong, saya kebetulan membaca catatan kritis Bung tentang Tuhan dan agama. Menurut Bung, Tuhan cuma ada di kepala saja. Sekadar konsep ato kesadaran tertinggi. Begitu juga Agama. Inti argumentasi Bung: Semua agama hanya imajinasi pikiran atau proyeksi diri manusia & Tuhan tidak eksis. Saya hormati kebebasan berpikir & kesimpulan Bung tsb. Buat saya, argumen ini sungguh menarik sekaligus merangsang pikiran. Meski saya tahu ia bukan barang baru dalam dunia ide, melainkan sudah amat klasik bahkan antik. Ia sudah jadi problem filsafat sejak dulu, kendati polemik dan relevansinya tak pernah habis ditelan zaman. Saya sendiri ada yg setuju dan tidak dengan argumentasi Bung tsb. Mungkin ide-ide ini perlu dihadapkan pada test-test atau ujian agar layak diterima logika. Dalam kaitan ini, saya ingin mengajukan beberapa pertanyaan, sekaligus menunjukkan posisi intelektual saya. Siapa saja boleh memeriksa logika yg dipakai, lalu menyimpulkan apakah ia cukup layak diterima atau sebaliknya. Namun, saya sadar ruangan ini terlalu sempit. Sukar berdiskusi secara dalam. Oleh karena itu, kita barangkali harus puas dengan garis besarnya saja.

Begini: Bung menyimpulkan Tuhan tak ada kecuali kesadaran belaka. Tapi, dari mana datangnya kesadaran itu? Mengapa ada kesadaran? Siapa yg menanamnya ke dalam manusia? Mengapa hanya manusia yg memilikinya dan binatang tidak?

J = Saya tidak pernah bilang Tuhan tidak ada; yg saya bilang bahwa Tuhan, baik disebut sebagai Allah ataupun berbagai istilah lainnya merupakan bagian dari kesadaran kita sendiri. Saya bilang: kesadaran itu selalu satu, dan ada jenis kesadaran tinggi yg bisa kita rasakan ketika gelombang otak kita turun ke level samadhi atau meditasi mendalam. Ketika kita samadhi, kita cuma merasakan bahwa kita sadar. Kita sadar bahwa kita sadar, aware of being aware. Tuhan atau Allah itu cuma istilah untuk merujuk kepada kesadaran kita sendiri pada saat itu. Karena kita sadar bahwa kita sadar, maka kita bilang bahwa Tuhan ada. Siapa yg menanamnya ke dalam manusia tentu saja tidak ada seorangpun yg akan bisa menjawabnya. Dari dahulu sampai sekarang tidak ada yg pernah bisa menjawab pertanyaan siapa yg menaruh kesadaran itu di dalam diri kita manusia.

Kita bisa juga ambil contoh pengalaman pribadi dari kesaksian mereka yg hidup dalam budaya semitik (Yahudi, Nasrani, Islam) di dalam kitab-kitab yg disucikan oleh ketiga agama itu. Kitab tertua adalah Genesis yg ditulis oleh Nabi Musa. Disitu Musa menceritakan kisah Abraham (atau Nabi Ibrahim menurut Islam). Abraham bertemu dengan Allah ketika dia hendak menyembelih anaknya Ishak (atau Ismail menurut Islam). Tetapi, bagaimanakah caranya Abraham bisa mendengar suara Allah kalau bukan dari kesadarannya sendiri? Jadi, kesadaran di diri Abraham bilang, jangan sembelih anak itu karena aku bukan Allah yg haus darah manusia,melainkan haus darah kambing. Ada kambing di situ yg bisa menggantikan anakmu sebagai korban sembelihan bagiku. Itulah pengalaman Abraham seperti tertulis di kitab Genesis.

Musa sendiri bertemu dengan Allah yg berbicara dari dalam semak belukar. Semak belukar kok bisa bicara? Tentu saja tidak. Yg berbicara adalah kesadaran di dalam diri Musa sendiri. Bisa kita katakan bahwa itu kesadaran tinggi yg ada di Musa. Allah yg muncul dari dalam semak belukar itu akhirnya memerintahkan Musa untuk membawa bangsa Israel untuk keluar dari Mesir dan masuk ke Kanaan (Palestina).

Kalau kita ambil contoh dari kisah para nabi Yahudi lainnya, semua mengakui panggilan dari Allah yg datangnya dari dalam kesadaran mereka sendiri itu.

"Samuel! Samuel!" Dan Samuel kecil kebingungan karena ada suara yg memanggil tanpa ada orangnya. Dan itulah awal panggilan Allah terhadap Nabi Samuel yg nanti akan menobatkan Saul, raja pertama orang Yahudi, dan Daud, raja Yahudi teragung sepanjang masa sampai saat ini, yg sangat beriman dan sangat manusiawi juga. Daud ini kemudian dikenal menulis kitab Zabur. Zabur itu Kitab Mazmur yg ada di dalam Alkitab. Isinya apa? Tidak lain dan tidak bukan merupakan kumpulan syair lagu semata. Daud seorang penyair. Nubuah dari Daud bentuknya bait-bait lagu.

Berikut petikan dari Mazmur 23, yg ditulis oleh Raja Daud, dan menurut saya merupakan inti dari iman semitik:

Tuhan adalah Gembalaku, takkan kekurangan aku.
Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau...
Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya,
sebab Engkau besertaku...

Simbolik sekali bukan? Daud berbicara tentang Allah yg adanya di dalam kesadaran dirinya sendiri, dan bukan dimana-mana. Bukan di atas langit.

T = Begitu pula agama. Kalau asalnya dari dalam dirimanusia, siapa yg menaruhnya? Sedangkan kalau dari luar, mengapa hanya manusia yg bereaksi terhadap agama sedangkan binatang tidak, pedahal keduanya memiliki lingkungan yg sama?

J = Agama-agama itu semuanya buatan manusia. Siapa yg menaruh agama di dalam kesadaran manusia? Tidak ada yg menaruhnya, tentu saja. Bukan barang, tidak bisa ditaruh. Agama diciptakan oleh kesadaran manusia sendiri. Berdasarkan kontemplasi dari Daud tentang Tuhan sebagai gembala manusia, contohnya, maka mereka yg memiliki kecenderungan naturalis bisa saja membuat agama yg menyembah alam, Tuhan sebagai alam. Itu bisa saja dilakukan, mengapa tidak?

T = Ada yg menyindir fase sejarah (Teologi, Metafisik, Positivis) Auguste Comte (1798-1857). Comte bilang: zaman kuno orang tak punya jawaban sehingga harus menciptakan Tuhan. Tapi kaum Materialisme bilang: manusia mahluk intelektual dan binatang mahluk bodoh. Bukankah ini berarti yg pandai jadi bodoh dan yg bodoh jadi lebih pandai?

J = Saya tidak pernah mempertentangkan berbagai aliran filsafat. Yg saya tahu bahwa setiap manusia memiliki kesadaran yg, kalau dikultivasi, akan memunculkan kesadaran tinggi. Kesadaran tinggi itu dirasakan oleh manusianya sendiri. Daud bergelut dengan Tuhan dari hari ke hari selama puluhan tahun hidupnya. Bisa juga dikatakan bahwa Daud bergelut dengan kesadaran tinggi yg ada di dirinya sendiri. Dari pergelutan manusia dengan kesadaran tinggi di dalam dirinya, maka lahirlah berbagai macam hasil perenungan, hasil kontemplasi. Bagi Daud, hasil kontemplasinya adalah bait-bait lagu itu yg diabadikan menjadi bagian dari kitab yg disucikan oleh kaum Yahudi dan Nasrani sampai saat ini. Tuhannya ada dimana? Tuhannya ada di dalam kesadaran Daud, dan di dalam kesadaran mereka yg membaca hasil kontemplasi Daud.

T = Bagaimana Bung tahu Tuhan tak ada? Manusia belum pernahmenjelajah sampai ke ujung jagad raya? Manusia mahluk terbatas dengan pengetahuan terbatas. Bukankah berlebihan bila manusia mengklaim mengetahui Tuhan tak ada?

J = Sekali lagi, saya tidak pernah bilang Tuhan tidak ada. Yg saya bilang, Tuhan adalah bagian dari kesadaran di diri manusia. Anggaplah sebagai kesadaran tinggi. Saya sadar bahwa saya sadar. Saya sadar bahwa saya ada. Karena saya ada, maka Tuhan ada. Kalau saya tidak ada, maka Tuhan tidak ada. Rene Descartes bilang: Cogito ergo sum. I think, therefore I am. Saya berpikir maka saya ada. Kalau saya tidak berpikir, maka saya tidak ada. Kalau saya tidak ada namanya kosong. Umat Buddhist mungkin akan merujuk hal kosong itu sebagai nibbana. Kosong, nothing. Mungkin kesadaran kita antara ada dan tiada. Kalau kita berpikir, maka kita ada. Kalau kita tidak berpikir, maka kita tidak ada. Malahan, di dalam tradisi India yg notebene non semitik, keadaan kosong atau tiada itu adalah puncak tertinggi dari eksistensi manusia. Kosong, nothing, nibbana. Kenapa? Mungkin karena mereka mengerti bahwa yg ada munculnya dari yg tidak ada. Ada muncul karena tiada. Tanpa tiada tidak bisa muncul ada. Tanpa ketiadaan, anda tidak bisa ada. Anda ada karena sesuatu yg bernama tiada.

T = Dalam sejarah filsafat, tak satu pun filsuf berani menyimpulkan dirinya tahu Tuhan tak ada. Itulah sebabnya lahir aliran Agnostisisme. Tapi, Bung Joko sekarang berani menyimpulkan sebaliknya, apakah Bung Joko sedang meninggikan diri melebihi manusia biasa lainnya?

J = Para filsuf itu tahu bahwa yg disebut Tuhan adalah konsep belaka. Konsep yg dibuat oleh manusia. Sebagai konsep, tentu saja Tuhan ada. Siapa bilang konsep Tuhan tidak ada? Saya tidak pernah berpikir saya meninggikan atau merendahkan diri saya. Yg saya tahu, saya berbicara dan menulis apa adanya saja. Dari apa yg saya pelajari dan alami sendiri tentang spiritualitas manusia dari berbagai latar belakang, saya mencapai kesimpulan bahwa kita ada karena kita ada, dan segala macam spekulasi tentang adanya Tuhan atau tidak adanya Tuhan itu tidak ada gunanya. Kita cuma tahu bahwa kita ada karena kita ada, kita sadar bahwa kita sadar. We are aware of being aware. Dan awareness atau kesadaran itu bisa menghasilkan berbagai macam kontemplasi, baik bersifat keagamaan maupun tidak. Dan semuanya itu termasuk dalam spiritualitas manusia dimana manusianya akan berusaha untuk menjadi dirinya sendiri, semakin lama semakin menjadi dirinya sendiri. Dengan jatuh bangun, dengan kemenangan dan kekalahan. Dan apakah kisah jatuh bangun yg sangat manusiawi itu kalau bukan yg telah dialami juga oleh mereka yg saat ini digelari sebagai nabi-nabi?

Sidharta Gautama yg digelari sebagai Buddha Sakyamuni mengalaminya.

Isa bin Maryam yg digelari sebagai Yesus Kristus atau Isa al Masih juga mengalaminya.

Konghucu mengalaminya.

Orang-orang Sufi mengalaminya.

Murid-murid Yesus yg penuh dengan Roh Kudus juga mengalaminya. Roh Kudus itu apa kalau bukan kesadaran yg terbuka di diri manusianya sendiri? Kalau mereka telah 10 hari dan 10 malam berpuasa dan berdoa dengan khusyuk, tentu saja Roh Kudus akan datang dan mereka akan bisa berbicara apa adanya saja, tanpa takut.  Dan itu tidak lain dan tidak bukan merupakan manifestasi dari kesadaran di diri mereka sendiri. Bukan kerasukan malaikat ataupun jin.

T = Saya melihat justru argumentasi Theisme lebih rasional.Menurut Theisme, meski Tuhan tak dapat dilihat, eksistensinya bisa disadari melalui observasi dan induksi. Sama seperti kita mencoba menyadari benda-benda yg tak terlihat. Tuhan itu eksis dengan mengamati efeknya. Hukum gravitasi, misalnya. Kita mustahil mengamatinya langsung. Kita hanya bisa mengamati efeknya. Dari efek inilah kita bisa membuat acuan rasional tentang keberadaan suatu sebab. Begitu juga dengan pikiran manusia. Kita tahu hanya dari efeknya. Sebuah buku, misalnya, adalah efek yg dihasilkan oleh penulis di belakangnya (preexisting intelligence). Kita bisa yakin bahwa buku itu ditulis oleh seseorang, tanpa kita harus melihatnya. Sebab menurut pengalaman kita, tak ada binatang, badai, hujan atau kekuatan alam lainnya sanggup memproduksi buku.

J = Argumentasi Theisme adalah argumentasi tentang eksistensi Tuhan. Ada orang yg percaya kepada Tuhan karena percaya kepada argumentasi Theisme. Apanya yg salah?

T = Selanjutnya, saya ingin beralih ke ide lain, yaitu Tuhan sebagai proyeksi diri manusia. Ide ini sebetulnya berasal dari Feuerbach. Dialah orang pertama yg mencoba memberi dasar ilmiah kepada Atheisme. Argumentasinya menjadi pola kritik agama paling berpengaruh hingga saat ini. Bahkan idenya diikuti oleh Nietzsche, Freud, Marx,dll. Sekarang oleh Bung Joko Tingtong.

J = Terima kasih telah menjejerkan saya dengan Nietzsche, Freud, dan Marx.

T = Namun, ada unsur yg tak bisa dijelaskan oleh Feuerbach dengan teori proyeksi-nya. Jika benar Tuhan hanya proyeksi manusia, mengapa Tuhan selalu dimaknai tak terhingga (maha)? Manusia tak hanya menyebut Tuhan itu baik, bijaksana atau berkuasa. Namun, lebih dari itu, Maha-baik, Maha-bijaksana dan Maha-kuasa. Padahal, pengalaman manusia, termasuk pengalaman diri kita sendiri, tak ada yg tak terhingga (maha). Jadi, tak mungkin unsur tak terhingga (maha) ini merupakan proyeksi hakekat manusia. Sebab, dalam hakekat manusia unsur ketakterhinggaan ini tak ada secara empiris!

J = Karena “maha” itu tak ada secara empiris, maka dijadikanlah sebagai atribut dari Tuhan. Bisa juga dikatakan bahwa atribut maha ini dan maha itu merupakan sesuatu yg potensial di diri kita manusia. Tuhan maha pengasih dan maha penyayang merupakan suatu atribut. Kenapa kita bilang Tuhan sebagai maha pengasih dan maha penyayang? Karena kita tahu bahwa bagi kita manusia sangat susah untuk menjadi pengasih dan penyayang tanpa diskriminasi. Lalu kita proyeksikanlah ide itu kepada sesuatu yg kita sebut sebagai Allah. Kalau sudah pakai istilah "maha", maka sudah merupakan proyeksi. Manusia ingin seperti itu, ingin menjadi "maha", maka diproyeksikanlah ide itu kepada Tuhan apapun yg dipilihnya. Bukankah itu yg dijelaskan oleh Feuerbach? Proyeksi artinya membayangkan sesuatu ada di sesuatu yg lain. Anda tinggal bayangkan saja bahwa Tuhan anda bersifat serba "maha", maka jadilah. Proyeksi bekerja seperti itu.

T = Kendati demikian, saya setuju separuh dengan Feuerbach bahwa manusia bisa menciptakan Tuhan. Namun, Tuhan ciptaan ini tak mungkin Tuhan sejati. Artinya, manusia memang potensial menciptakan Tuhan palsu. Entah dengan imajinasi, prasangka atau emosi. Tapi sungguh keliru kalau memakai titik tolak ini untuk memahami Tuhan yg sejati. Jadi, teori proyeksi memiliki kelemahan-kelemahan yg serius. Teori ini gagal menjelaskan hal yg paling hakiki dari pengalaman agama. Teori ini juga tak bisa membuktikan bahwa semua ciri yg dimiliki Tuhan adalah proyeksi diri manusia.

J = Saya cuma bisa bilang bahwa proyeksi itu benar. Semua atribut Tuhan adalah konsep. Manusia yg mengkonsepkannya, dan memproyeksikannya kepada Tuhannya. Kita memproyeksikan apa yg kita rasa tidak ada di diri kita kepada sesuatu yg kita sebut sebagai Tuhan dan juga Setan. Kalau kita anggap baik, maka kita sebut atribut Tuhan. Kalau kita anggap jelek, maka kita sebut atribut Setan. Pedahal Tuhan dan Setan itu merupakan istilah saja, dan atribut-atributnya merupakan proyeksi dari sifat-sifat yg ada di diri kita juga, walaupun mungkin sedikit dibesar-besarkan. Konsep Tuhan dan Setan adalah kreasi manusia.

T = Namun, sebagai kritik agama, teori proyeksi memberikan sumbangan penting. Ia menyadarkan kita bahwa manusia kerap menciptakan illah-illah palsu. Fenomena hidup sehari-hari banyak mengkonfirmasikan fakta ini. Orang menyembah sesuatu yg ia ciptakan sendiri. Tapi, sekali lagi, ini adalah perkara lain, ketika kita bicara Tuhan yg sejati. Disini, kita perlu hati-hati dan kritis untuk bisa membedakannya.

J = Tuhan yg sejati adalah yg tidak bisa dibicarakan. Lao Tze dari Cina sudah bilang hal itu 2,500 tahun yg lalu. Dia bilang: Tao yg bisa dibicarakan bukanlah Tao. Tuhan yg bisa dibicarakan bukanlah Tuhan.

T = Banyak teori tentang timbulnya agama telah ditulis sepanjang sejarah. Beragam penulis memberi kontribusinya. Ada pemikir seperti John Lubbock, Edward Taylor, Max Muller. Ada juga tokoh-tokoh kebudayaan modern, seperti Immanuel Kant, Thomas Henry Huxley, Charles Kingsley, Albert Ritschl, dll. Namun, hemat saya, tak ada satu pun interpretasi yg benar-benar akurat dan meyakinkan tentang kosmos, kecuali sekadar kita apresiasi sebagai spekulasi pikiran. Apalagi mereka yg menulis, tidak hidup di zaman agama yg dianalisanya itu.

J = Teori tentang kosmos atau alam semesta secara fisik merupakan bidang lain lagi. Itu fisika. Penelitiannya tidak pernah habis, tidak pernah tuntas diteorikan. Kalau membicarakan tentang Tuhan dan agama-agama, namanya bukan fisika melainkan metafisika dimana kita akan selalu harus memperhitungkan kesadaran yg ada di diri manusia yg menciptakan segala macam simbol-simbol yg hakekat atau essensinya berada di luar dari simbol-simbol itu sendiri. Makna dari simbol selalu berada di luar dari simbol itu sendiri. Makna dari Tuhan sebagai simbol selalu berada di luar Tuhan. Kalau di luar Tuhan, maka dimana lagi kalau bukan di diri kita sendiri? Arti dari Tuhan ditemukan di dalam diri kita, dan arti dari diri kita ditemukan di dalamTuhan. Tapi, tentu saja, yg kita sebut Tuhan dan kita di situ hanyalah kesadaran yg satu itu, yg adanya di tiap orang dari kita. Kita bermain dengan kesadaran kita sendiri saja. God playing with Himself or Herself.

T = Saya sendiri menghormat Feuerbach, karena teorinya bisa dipakai untuk membongkar kemunafikan para agamawan. Buat saya, Feuerbach berhasil membangun kritik sekaligus tantangan yg perlu diperhatikan para agamawan. Dari teori Feuerbach, kita tahu banyak kaum agamawan sebenarnya menipu diri dengan mengatakan ia mencari Tuhan, padahal yg dia cari hanya dirinya sendiri.

J = Tentu saja, dan saya sudah pernah bilang tidak usah mencari kesana kemari, karena adanya di dalam kesadaran kita sendiri saja. God is part of our consciousness. Tuhan bagian dari kesadaran kita. Kesadaran kita yg menciptakan konsep Tuhan.

T = Sama halnya dengan anggapan Hedonisme. Menurut Hedonisme, manusia selalu mencari nikmatnya sendiri saja. Kalaupun seseorang berkorban untuk orang lain atau mengejar cita-cita luhur, ia sebenarnya hanya mencari kenikmatan sendiri saja. Bagi saya, kritik agama tetap penting dan relevan. Tapi, bukan untuk menyangkali Tuhan, apalagi menganggapnya sekedar ilusi. Kritik agama berguna sekadar membantu kita menyadari fakta sekaligus membongkar kemunafikan dan kebusukan praktek agama, yang telah merusak kehidupan. Yang membuat orang makin membenci agama.

J = Kritik agama selalu berguna. Agama merupakan kreasi manusia belaka, dan kemampuan kita untuk mengkritik agama membuktikan bahwa agama memang ciptaan manusia. Kalau agama bukan ciptaan manusia, maka apapun yg kita lakukan tidak akan bisa mengubah agama. Tetapi ternyata kita bisa mengubah agama. Kita bisa membongkar agama lama dan menciptakan agama baru. Sejarah membuktikannya.

Semua agama itu memang ciptaan manusia. Para Tuhan di agama-agama itu merupakan proyeksi dari kesadaran manusia. Ludwig Feurbach benar.

...................................................................
Oleh : Leonardo Rimba
Sumber : https://www.facebook.com/notes/leonardo-rimba/saya-disejajarkan-dengan-nietzsche-freud-dan-marx/638611769491459

1 komentar:

  1. Tuhan adalah akibat dari kesadaran manusia.
    Saya berpikir maka saya sadar bahwa ada, lalu dilanjutkan dengan kesadaran kita ttg eksistensi objek2 lain (material maupun imaterial).
    Ttg benar ada atau tidaknya Tuhan itu ada, tdk ada yg bs mengetahuinya.

    BalasHapus